Selektif Berteladan


Imam Malik : Selektif Berteladan

“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari mana kalian mengambilnya.” Kata Malik menjelaskan, “Sungguh, saya telah menyaksikan 70 tokoh yang mengatasnamakan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- di hadapan tiang-tiang ini,” sembari menunjuk ke arah tiang-tiang di dalam Masjid Nabawi, “akan tetapi saya tidak meriwayatkan dari mereka sama sekali. Padahal, sungguh, seandainya mereka ini diberikan amanah untuk menjaga baitul maal, pasti mereka adalah sosok-sosok yang benar-benar amanah. Akan tetapi sayangnya mereka bukanlah orang-orang yang layak untuk mengemban riwayat.” ( Tartibul Madarik: 1/131 )

Demikianlah prinsip Imam Malik. Hadis dan muhaddis, bukan tentang kuantitas, tapi kualitas.
Di Madinah, banyak guru besar, banyak tokoh agama, begitu tersebar ulama, tapi apakah semuanya bisa menjadi tonggak riwayat? Tidak. Malik, sejak kecil benar-benar selektif. Para guru besar Madinah harus melewati kualifikasi sebelum riwayatnya diambil oleh Malik.

Di kesempatan lain, Imam Malik menuturkan hal yang bisa menyebabkan seorang ulama tak beliau riwayatkan hadisnya. Di antaranya:
1. Mereka yang berdusta saat berbicara dengan manusia, meskipun dalam meriwayatkan hadis tidak berdusta,
2. Mereka yang tak mengerti apa yang disampaikannya,
3. Atau mereka yang memiliki pemahaman yang buruk.

Bukan karena merendahkan, bukan pula karena meremehkan apalagi menganggapnya hina, tapi ilmu harus diambil dari mereka yang memang layak. Kata Malik: “Terkadang, ada seorang guru yang mengajar kami seharian penuh akan tetapi kami tak meriwayatkan hadisnya. Bukan karena menuduhnya macam-macam, akan tetapi beliau memang bukan seorang ahli hadis.”

Iya, tentunya ada perbedaan antara mengambil pelajaran, dengan mengambil riwayatnya.
Sekaliber Atha’ bin Abi Rabah pun, tak lepas dari kualifikasinya. Saat itu, Malik menghadiri majelis Atha. Seperti biasa, sebelum meriwayatkan, Malik akan mencermati, memperhatikan, dan menilik secara seksama adab dan perangai gurunya, apakah ia layak untuk diambil riwayatnya. Pelan-pelan Atha berjalan sampai di hadapan mimbar Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sesampainya di depan mimbar, Atha mengusap tingkat pertama mimbar. Hal itu mengejutkan Malik. Itu adalah kebiasaan orang awam. Masyarakat secara umum di mimbar-mimbar mereka. Ketika Malik melihat bahwa Atha tidak membedakan antara mimbar Nabi dengan mimbar yang lain, Malik tidak meriwayatkan darinya.

Namum demikian, sepeninggal Atha, Malik mengambil riwayat dari murid Atha, darinya. Kata Al Qadhi Iyadh: “Bisa jadi dahulu Malik meniggalkan riwayatnya karena apa yang beliau lihat dari Atha. Juga saat itu Malik belum mengerti tentang keutamaan dan ilmunya. Oleh karena inilah, Malik saat itu tak ingin lagi melihat dan belajar darinya. Saat pada akhirnya Malik mengetahui tentang keutamaan dan keilmuannya, dalam keadaan riwayat langsung dari Atha telah terluput darinya, barulah Malik mengambil riwayatnya.”

Karena keseriusannya dalam memilih guru inilah, Malik dan muwathta’nya adalah timbangan benar tidaknya suatu riwayat.

Kata Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib An Nasa’i: “Tidak ada satu orang pun dari kalangan tabi’in yang lebih mulia dan terhormat dibandingkan Malik bin Anas. Juga tidak ada satu orang pun yang lebih bisa dipercaya dalam hal hadis dibandingkan beliau. Kemudian setelahnya Yahya bin Said Al Qaththan.”

Asy Syafi’i juga mempersaksikan hal yang senada, katanya: “Imam Malik, apabila ragu tentang sebuah hadis, beliau akan melemparkannya secara keseluruhan.”

Katanya pula: “Jika ada sebuah atsar, maka Malik adalah bintangnya.”

Masih sanjungan yang sama, kata Ali ibnul Madini: “Malik adalah seorang imam.”

Abu Umar Ibnu Abdil Barr ( At Tamhid: 1/65 ) menuturkan setelah menukilkan pujian para ulama di atas: “Sudah diketahui bahwa Malik termasuk orang yang paling kuat meninggalkan ilmu-ilmu yang janggal, paling cermat dalam memilah para guru, paling sedikit sikap takallufnya, serta paling kuat hafalannya. Oleh karenanya lah, beliau layak menjadi seorang imam.”

Demikian harusnya belajar. Selektif dan perhatian. Bukan hanya mengerti apa yang dipelajari, akan tetapi tidak kalah lebih penting dari itu, siapa yang mengajari. Wallahu a’lam


Sumber fb : Hadis Shahih




 

Posting Komentar

0 Komentar