Ajaran Syiah Bukan Berasal Dari Islam


Sejarah Kemunculan Syi’ah

Secara fisiknya, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin bisa untuk disatukan..

Syiah jika menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)

Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm)

Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.

Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.

Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.

1. Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه

“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“

2. Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
3.Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر

“Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.

Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.

Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.

Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)

Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:

رَفَضْتُمُوْنِي؟

“Kalian tinggalkan aku?”

Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).

Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.

Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka).

Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).

Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.

Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.

Kemiripan Syi’ah dengan Yahudi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang-orang Yahudi berkata bahwa tidak boleh kekuasaan itu dipegang oleh selain keturunan Dawud. Demikian pula, kaum Rafidhah/Syi’ah. Mereka mengatakan bahwa tidak boleh imamah/kepemimpinan umat ini dipegang oleh selain keturunan Ali.

Orang Yahudi berkata bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali setelah keluarnya al-Masih ad-Dajjal dan diturunkan pedang. Kaum Rafidhah pun mengatakan bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali setelah keluarnya Imam Mahdi dan terdengar seruan dari langit.

Orang-orang Yahudi mengakhirkan sholat hingga bintang-bintang tampak. Maka begitu pula Rafidhah. Mereka mengakhirkan sholat Maghrib hingga bintang-bintang tampak. Padahal di dalam hadits ditegaskan, “Umatku akan senantiasa berada di atas fithrah selama mereka tidak mengakhirkan sholat Maghrib hingga tampaknya bintang-bintang.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, di dalam Zawa’id disebutkan bahwa sanadnya hasan).

Orang-orang Yahudi menyelewengkan ayat-ayat Taurat. Begitu pula kaum Rafidhah menyelewengkan ayat-ayat al-Qur’an. Yahudi memandang tidak dituntunkan mengusap khuf. Begitu pula Rafidhah memandang hal itu tidak diajarkan.

Orang Yahudi membenci Jibril, mereka mengatakan, “Jibril adalah musuh kami dari kalangan malaikat.” Begitu pula  Rafidhah, mereka mengatakan, “Jibril salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad.” (lihat Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, dikutip dari Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 23-24)

Keyakinan Syi’ah Tentang Imam-Imam Mereka

Mengenai kedudukan para imam Syi’ah, Khomeini mengatakan, “Sesungguhnya kami ini -para imam dua belas- mengalami keadaan-keadaan bersama Allah yang tidak dialami bahkan oleh malaikat yang dekat maupun nabi yang diutus.” (lihat Tahrir al-Wasilah karya Khomeini, dikutip dari Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 27).

Bahkan para ulama Syi’ah menganggap imam-imam mereka -keturunan Ali- adalah lebih utama daripada nabi-nabi. Salah seorang ulama Syi’ah yang bernama al-Majlisi mengatakan di dalam kitabnya Mir’at al-‘Uquul, “Sesungguhnya mereka -para imam- itu lebih mulia dan lebih utama daripada seluruh nabi selain Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 27)

Kaum Syi’ah juga Sangat membenci para Sahabat terutama yang menggantikan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat ini sesudah wafatnya beliau kecuali Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhum. Mereka menganggap para Sahabat itu adalah pengkhianat, bahkan kafir!

al-Qumi salah seorang ulama Syi’ah mengatakan di dalam tafsirnya tentang firman Allah (yang artinya), “Dan dia melarang dari fakhsya’, mungkar dan baghyu.” (QS. an-Nahl: 90). Dia mengatakan, “Yang dimaksud fakhsya’ adalah Abu Bakar, mungkar adalah ‘Umar, dan baghyu adalah ‘Utsman.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 21).

Di dalam Bihar al-Anwar al-Majlisi membuat pembahasan khusus yang berjudul, “Hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran Abu Bakar dan ‘Umar serta orang-orang yang mendukung mereka berdua, pahala bagi orang yang melaknat mereka, keharusan berlepas diri dari mereka, bahwa bid’ah yang mereka lakukan terlalu banyak untuk disebutkan dalam satu jilid buku ini ataupun berjilid-jilid buku yang lain…” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 21)

Siapakah yang meragukan keutamaan para Sahabat terbaik semacam Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiyallahu’anhum?! Putra Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang bernama Muhammad bin al-Hanafiyah pernah bertanya kepada ayahnya, “Aku bertanya kepada ayahku: Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa?”. Beliau menjawab, “’Umar.” Dan aku khawatir jika beliau mengatakan bahwa ‘Utsman adalah sesudahnya, maka aku katakan, “Lalu anda?”. Beliau menjawab, “Aku ini hanyalah seorang lelaki biasa di antara kaum muslimin.” (HR. Bukhari)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu’anhuma berkata, “Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup kami memilih-milih siapakah orang yang terbaik. Maka menurut kami yang terbaik di antara mereka adalah Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.” (HR. Bukhari)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian ada yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menginfakkan ‘sepasang hartanya’ di jalan Allah maka dia akan dipanggil -oleh malaikat- dari pintu-pintu surga, ‘Wahai hamba Allah! Inilah kebaikan -yang akan kamu peroleh-.’ Barangsiapa yang tergolong ahli sholat, maka dia akan dipanggil dari pintu sholat. Barangsiapa yang tergolong ahli jihad, maka dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa yang tergolong ahli sedekah, maka dia akan dipanggil dari pintu sedekah. Barangsiapa yang tergolong ahli puasa, maka dia akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai Rasulullah, apa  yang perlu dikhawatirkan oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu. Adakah orang yang dipanggil dari kesemua pintu itu?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ada. Dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan keutamaan yang ada pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang beliau, “Aku berharap semoga kamu termasuk di dalamnya.” Yaitu golongan orang-orang yang dipanggil dari semua pintu surga. Hal itu karena harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama (lihat Fath al-Bari [7/31] dan Syarh Shahih Muslim [4/353]).

Siapakah yang meragukan bahwa Abu Bakar masuk surga?! Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah memberi makan orang miskin?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu kembali menjawab, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah itu semua terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (as-Sunnah, sanadnya hasan, lihat as-Sunnah li Abdillah ibni Ahmad ibni Hanbal, Jilid 1 hal. 378)

Kalau seorang Sahabat saja sudah seperti ini kedudukannya, lantas bagaimana menurut anda orang yang menganggap kafir semua para Sahabat kecuali beberapa gelintir orang saja?! Salah seorang pembesar ulama Syi’ah yang bernama al-Kulaini di dalam Furu’ al-Kafi membawakan riwayat dusta  atas nama keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, bahwa Ja’far ‘alaihis salam mengatakan, “Seluruh manusia setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berubah menjadi murtad kecuali tiga orang.” Lalu ditanyakan kepada belliau, “Siapakah tiga orang itu?”. Beliau menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 20). Maha suci Allah.. Sungguh ini adalah kedustaan yang sangat besar!!

Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah. Mendoakan kebaikan untuk mereka adalah ibadah. Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat Qathful Jana ad-Daani, hal. 162)

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kita mencintai para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak berlebih-lebihan dalam mencintai salah seorang diantara mereka. Kita juga tidak berlepas diri dari siapapun diantara mereka. Kita membenci orang yang membenci mereka, dan juga orang-orang yang menjatuhkan kehormatan mereka. Kita tidak menyebutkan mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah termasuk bagian agama, ajaran keimanan dan sikap ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan dan sikap yang melampaui batas.” 

video kemiripan ibadah kaum syiah dengan yahudi


[Disusun dari dari berbagai sumber dan sedikit pengeditan oleh penulis, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam]

(lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 488. Ta’liq Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

sumber artikel : muslim












Posting Komentar

0 Komentar