Mengapa Sih Mereka Begitu Takut dengan dakwah Salafi...??
Dinamika dakwah Islam di tanah air dalam tiga dekade terakhir diwarnai dengan fenomena pesatnya perkembangan dakwah salafiyah yang bertujuan mengembalikan pemahaman umat Islam kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan manhaj salafush saleh.
Fakta demikian ternyata mengundang pobia luar biasa dari kalangan tradisionalis, di mana praktek-praktek keislaman mereka yang sarat pencampur adukan dengan budaya lokal mendapatkan koreksi dari kalangan salafi.
Maka tak heran, berkembangnya dakwah salafi dari Aceh hingga Papua mendatangkan kegelisahan dari kalangan tokoh Mereka yang selama ini terlanjur menikmati kedudukan begitu tinggi di tengah-tengah masyarakat ‘santri’.
Beragam cara mereka gunakan untuk membendung dan mendiskreditkan dakwah salaf. Akan tetapi, semakin dibendung, dakwah salaf justru makin tak terbendung. Semakin difitnah, justru semakin banyak yang tercerahkan dengan dakwah salaf.
Pada tahun 2009 misalnya, rumah sejumlah penganut salafi di Gerung, Lombok Barat diserang warga yang masih jahil dengan Sunnah. Kejadian ini bukan kali pertama terjadi di provinsi NTB. Namun dengan peristiwa tersebut, yang kemudian diliput luas oleh sejumlah media nasional justru menyebabkan masyarakat semakin familiar dengan istilah tuduhan “salafi-wahabi” dan ujung-ujungnya mereka penasaran mencari tahu, apa sih sebetulnya salafi-wahabi itu.
Padahal fitnah tuduhan wahabi itu yang pertama menyerukan kaum syiah laknatullah untuk menjauhkan dari kemurnian islam, lalu dituduhkan kepada Muhammad bin Abdul wahab, padahal sejarah wahabi sudah muncul sebelum beliau lahir, yang pentolannya Abdul Wahab bin Rustum dengan pemahaman khawarij dan kelompok ini sudah mati diperangi dizamannya.
BACA JUGA : MENGAPA SAYA SALUT KEPADA SALAFI
Julukan ini kembali dimunculkan ketika banyak praktek kesyirikan merajalela dan kaum tradisional banyak terusik ketika Muhammad bin abdul wahab mendakwahkan tauhid.
Munculnya radio Rodja dan Rodja TV sebagai salah satu media dakwah salafi yang memantik reaksi para tokoh sufi-tradisionalis untuk memperingatkan jamaahnya agar tidak mendengarkan dan menonton siaran tersebut, rupanya malah menjadi iklan gratis yang menyebabkan radio Rodja dan Rodja TV kian dikenal luas.
Upaya-upaya sejumlah oknum yang berusaha menyebarkan opini di tengah masyarakat soal sesatnya ajaran salafi-wahabi justru berujung pada turun tangannya MUI meneliti gerakan tersebut, dan hasilnya MUI Jakarta Utara dengan tegas menyatakan
Nyatanya, dalam beberapa tahun terakhir dakwah salafiyah justru semakin berkembang di kalangan aparat pemerintahan. Bahkan tak jarang para da’i salafi memberikan tausiyah di masjid Mabes Polri, masjid Polda Metro Jaya, atau masjid PTIK.
Teranyar, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) malah mendatangkan ulama salafi murid Syaikh Albani, yakni Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi untuk berdakwah kepada para napi terpidana teroris agar kembali kepada pemahaman Islam yang haq.
Mungkin masih lekat pula dalam benak kita, tatkala di penghujung 2009 taklim Ustadz Zainal Abidin, da’i salafi mantan santri tambak beras di Masjid Amar Ma’ruf Bekasi yang membedah buku Jihad Melawan Teror diserang sejumlah orang yang ditengerai sebagai simpatisan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).
Dengan demikian, jelas sudah beda antara salafi dengan takfiri. Kaum salafi menyeru kepada Tauhid, sunnah, dan pemahaman sahabat Nabi yang di dalamnya termasuk ketaatan terhadap pemerintah kaum Muslimin. Sedangkan jamaah takfiri menyeru kepada pengkafiran terhadap pemerintah RI serta hasutan untuk membenci atau bahkan memberontak terhadap pemerintah.
0 Komentar