Allah mengancam dengan keras orang-orang yang berani membantah Sunnah (ajaran) Nabi-Nya. Tidak saja diancam dengan azab akhirat, tetapi banyak yang disegerakan hukumannya di dunia.
Salah seorang murid Imam Ahmad rahimahullah bernama Abu Thalib mengatakan,
“Saya mendengar Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (yakni Ats-Tsauri rahimahullah, salah seorang ulama kala itu).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang mengetahui hadits dan sanad hadits serta kesahihannya lalu meninggalkannya. Lantas dia mengambil pendapat Sufyan dan yang lainnya. Padahal Allah berfirman,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah kufur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلۡفِتۡنَةُ أَكۡبَرُ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۗ
“Dan fitnah (yakni kufur) itu lebih besar daripada pembunuhan.” (al-Baqarah: 217) (Fathul Majid hlm. 466)
Ayat yang dibacakan oleh Imam Ahmad rahimahullah tersebut benar-benar merupakan ancaman keras bagi orang-orang yang menyelisihi Sunnah Nabi. Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,
“Hendaklah takut, siapa saja yang menyelisihi syariat Rasul secara lahir maupun batin ‘untuk tertimpa fitnah’ dalam hatinya, baik berupa kekafiran, kemunafikan atau bid’ah; ‘atau tertimpa azab yang pedih’ di dunia dengan dihukum mati, dihukum had, dipenjara, atau sejenisnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/319)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian keraskan suara kalian di atas suara Nabi. Jangan pula kalian bersuara keras terhadap Nabi sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian kepada sebagian yang lain supaya tidak gugur amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.” (al-Hujurat: 2)
Baca juga artikel sebelumnya : Jalan Salaf Jaminan Kebenaran
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat ini,
“Allah memperingatkan kaum mukminin dari gugurnya amal-amal mereka dengan sebab mereka mengeraskan suara kepada Rasul sebagaimana kerasnya suara mereka kepada sebagian yang lain. Padahal amalan ini bukan merupakan kemurtadan, melainkan sekadar kemaksiatan. Akan tetapi, ia dapat menggugurkan amalan dalam keadaan pelakunya tidak menyadari.
Lantas bagaimana dengan orang yang mendahulukan ucapan, petunjuk, dan jalan seseorang di atas ucapan, petunjuk, dan jalan Nabi?! Bukankah yang demikian telah menggugurkan amalannya sedangkan dia tidak merasa?” (Kitabush Shalah, hlm. 65; al-Wabilush Shayyib, hlm. 24; dan Ta’zhimus Sunnah hlm. 22—23)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan,
وَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa membenci Sunnah (ajaran)ku, dia bukan dari golonganku.” (Sahih, HR. Muslim)
Maksud ‘bukan dari golonganku’ ialah dia termasuk orang kafir jika ia berpaling dari Sunnah Nabi, tidak meyakini As-Sunnah itu sesuai dengan nyatanya. Namun, jika dia meninggalkannya karena menggampangkannya, artinya ialah dia tidak di atas tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (Lihat Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi rahimahullah, 9/179 dan Nashihati lin Nisa` hlm. 37)
Ancaman-ancaman tersebut cukup menakutkan. Akan tetapi, ada yang tak kalah menakutkan, yaitu bahwa orang yang menentang Sunnah Nabi terkadang dipercepat hukumannya oleh Allah semasa mereka di dunia. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat, di antaranya:
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, dari Nabi bahwa beliau bersabda,
لَا تَطْرُقُوا النِّسَاءَ لَيْلًا. فَخَرَجَ رَجُلَانِ مِمَّنْ سَمِعَ مَقَالَتَهُ، فَطَرَقَا أَهْلْهُمَا، فَوَجَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا
“Jangan kalian datang kepada istri kalian (dari safar) di malam hari.” Tiba-tiba dua orang (langsung) yang mendengar sabda beliau pergi mendatangi istri mereka (malam hari), maka keduanya mendapati istri mereka sudah bersama laki-laki lain. (Sunan ad-Darimi, 1/118)
Didapatinya istri mereka bersama laki-laki lain adalah hukuman bagi mereka. Mereka telah melanggar larangan Nabi untuk mendatangi istri mereka pada malam hari sepulang dari safar yang cukup lama. Berbeda halnya jika sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu memberi tahu bahwa mereka akan datang pada malam itu. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (9/240, 242).
Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu anhu berkata,
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ، فَقَالَ: كُلْ بِيَمِينِكَ. قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ. قَالَ: لَا اسْتَطَعْتَ. مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
Seseorang makan dengan tangan kiri di hadapan Rasulullah. Rasulullah menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu.”
Ia menjawab, “Saya tidak bisa.” Nabi lalu mengatakan, “Semoga kamu tidak bisa.”
Tidaklah menghalangi dia kecuali sombong. Akhirnya, ia tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya.” (Sahih, HR. Muslim, no. 5236, “Kitabul Asyribah”)
Abdurrahman bin Harmalah mengisahkan:
Seseorang mendatangi Sa’id bin al-Musayyib dan mengucapkan salam perpisahan untuk haji atau umrah. Sa’id mengatakan kepadanya, “Jangan kamu pergi hingga kamu shalat terlebih dahulu. Sebab, Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah ada yang keluar dari masjid setelah azan kecuali seorang munafik, kecuali orang yang terdorong keluar karena kebutuhannya dan ingin kembali ke masjid’.”
Kemudian orang itu menjawab, “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah.” Dia pun keluar dari masjid.
Sa’id terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah pahanya. (Sunan ad-Darimi 1/119; Ta’zhimus Sunnah hlm. 31; Miftahul Jannah hlm. 134)
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail at-Taimi mengatakan,
Dirinya membaca sebagian kisah bahwa ketika sebagian ahlul bid’ah mendengar sabda Nabi,
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu tiga kali. Sebab, sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” (Sahih, HR. Muslim, no. 641, “Kitab ath-Thaharah”)
Ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek, “Saya tahu di mana tanganku bermalam. Tanganku bermalam di kasur.”
Pagi harinya dia bangun tidur dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya.
At-Taimi lalu berkata, “Maka dari itu, hendaklah seseorang berhati-hati menganggap remeh As-Sunnah dan sesuatu yang bersifat mengikut perintah agama. Lihatlah bagaimana akibat perbuatan jelek mengantarnya.”
Al-Qadhi Abu Thayyib menceritakan kejadian yang ia alami,
Kami berada di sebuah majelis kajian di Masjid al-Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan. Ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya. Disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu.
Dia—yang bermazhab Hanafi—mengatakan, “Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya….”
Belum sampai ia tuntaskan ucapannya, tiba-tiba seekor ular besar jatuh dari atap masjid hingga orang-orang meloncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itu terus mengikutinya.
Ada orang yang mengatakan, “Tobatlah engkau! Tobatlah engkau!”
Kemudian dia mengatakan, “Saya bertobat.” Ular itu pun pergi dan tidak terlihat lagi bekasnya.
Adz-Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para imam.
Itulah beberapa kejadian nyata—insya Allah—dan bukan cerita fiktif yang diada-adakan. Ini adalah cerita-cerita yang diriwayatkan dengan sanad. Tentu saja, hal ini menjadi pelajaran untuk kita. Sebab, tidak mustahil kejadian di atas terjadi pada masa kita sebagaimana pernah terjadi pada masa dahulu manakala ada seseorang yang menghina Sunnah Nabi.
Ancaman ini telah ditetapkan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ
“Sesungguhnya orang yang mencelamu, dialah yang terputus.” (al-Kautsar: 3)
Maksudnya, terputus dari segala kebaikan. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 935)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,
“Yang mencelamu artinya yang membencimu, wahai Muhammad. (Yaitu) yang membenci petunjuk dan kebenaran serta bukti yang nyata dan terang yang engkau bawa. Dialah yang akan terputus, yang hina, dan tidak akan dikenang namanya (dengan baik).
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengatakan bahwa makna ‘yang mencelamu’ adalah musuh-musuhmu. Ini mencakup siapa saja yang memiliki sifat tersebut, baik yang disebut atau yang lain.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/598)
Jadi, ancaman Allah sangat mungkin terjadi pada individu atau kelompok pada masyarakat kita, jika Allah tidak memberi rahmat-Nya. Bahkan, seseorang yang mengagungkan Sunnah (ajaran) Nabi lalu ia perhatikan perilaku manusia yang menyikapinya dengan sikap negatif, dia akan mendapatkan kebenaran firman Allah di atas. Dia akan melihat tidak sedikit orang yang tertimpa musibah lantaran menghina Sunnah Nabi.
Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
sumber : https://asysyariah.com/menyelisihi-assunnah-menuai-ancaman/
repost : Berbagi Ilmu Kajian Sunnah
0 Komentar