KEUTAMAAN ORANG KAYA YANG BERSYUKUR



Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Jika Anda berharta melimpah, maka Anda wajib bersyukur; dan jika Anda miskin, maka bersabar menjadi kewajiban Anda. Itulah kewajiban yang telah digariskan syariat atas mereka. Karena sesungguhnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian, barangsiapa menghadapi ujian sesuai dengan yang diperintahkan, maka dia adalah orang yang mulia.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manusia berbeda pendapat, mana yang lebih utama: orang fakir (miskin) yang sabar atau orang kaya yang bersyukur? Pendapat yang benar adalah: orang yang lebih utama dari keduanya adalah yang paling bertakwa. Jika ketakwaan keduanya sama, derajat keduanya sama, sebagaimana hal ini telah kami jelaskan di tempat yang lain. Sesungguhnya orang-orang fakir (miskin) akan mendahului orang-orang kaya menuju surga. Karena tidak ada hisab (penghitungan harta) terhadap orang-orang fakir, sedangkan orang-orang kaya akan ada hisab (penghitungan harta). Maka orang kaya yang kebaikannya lebih banyak dari kebaikan orang miskin, derajatnya di surga lebih tinggi, walaupun lebih lambat masuk surga dari orang miskin. Sedangkan orang kaya yang kebaikannya di bawah kebaikan orang miskin, derajatnya di surga lebih rendah dari orang miskin”.[1]

MAYORITAS ORANG KAYA ITU LUPA
Tulisan kali ini adalah tentang keutamaan orang kaya yang bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , karena kebanyakan orang kaya lupa terhadap nikmat-Nya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمُ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، إِلاَّ مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا ، فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ ، وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memperbanyak (harta) adalah orang-orang yang menyedikitkan (kebaikannya) pada hari Kiamat, kecuali orang yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya kebaikan, lalu dia memberi kepada orang yang di sebelah kanannya, kirinya, depannya, dan belakangnya; dan dia berbuat kebaikan pada hartanya [2]

al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dengan ‘memperbanyak’ adalah dengan harta, dan ‘menyedikitkan’ adalah dengan pahala akhirat. Ini (terjadi) pada diri orang yang memperbanyak harta, akan tetapi dia tidak memenuhi sifat dengan yang ditunjukkan oleh pengecualian setelahnya, yaitu berinfaq”. [Fathul Bari 18/261]

Dari hadits yang mulia ini, kita mengetahui bahwa mayoritas orang kaya itu lupa bersyukur kepada Pemberi nikmat hakiki, yaitu Allâh Azza wa Jalla . Mereka hanya sibuk dalam urusan harta dan dunia, melalaikan urusan akhirat dan amalan yang mulia. Akibatnya, mereka sedikit sekali mendapatkan kebaikan di sisi Rabbnya. Kecuali orang yang banyak berinfak untuk meraih keridhoan Allâh Azza wa Jalla dengan memberikan harta kepada orang-orang yang membutuhkan di mana saja mereka berada.

SEBAIK-BAIK HARTA ADALAH HARTA YANG ADA DI TANGAN ORANG SHALIH
Sahabat yang mulia, ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu berkata:

بَعَثَ إِلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : “خُذْ عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَسِلاَحَكَ ثُمَّ ائْتِنِى “. فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَصَعَّدَ فِىَّ النَّظَرَ ثُمَّ طَأْطَأَهُ فَقَالَ : “إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ عَلَى جَيْشٍ فَيُسَلِّمَكَ اللَّهُ وَيُغْنِمَكَ وَأَرْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ رَغْبَةً صَالِحَةً “. قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَسْلَمْتُ مِنْ أَجْلِ الْمَالِ وَلَكِنِّى أَسْلَمْتُ رَغْبَةً فِى الإِسْلاَمِ وَأَنْ أَكُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . فَقَالَ “: يَا عَمْرُو نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ “

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadaku, beliau memerintahkan, “Ambillah pakaianmu dan senjatamu, lalu menghadaplah kepadaku!” Aku pun mendatangi beliau ketika beliau sedang berwudhu’. Beliau melihat-lihat kepadaku, kemudian bersabda, “Aku akan mengutusmu memimpin satu pasukan, semoga Allâh akan menyelamatkanmu dan memberimu harta rampasan perang. Aku berharap engkau menyukai harta dengan kesukaan yang baik”. ‘Amr bin al-Ash mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, aku tidak masuk Islam karena harta. Tetapi aku masuk Islam karena mencintai Islam dan agar aku bersama Rasûlullâh “. Maka beliau bersabda, “Hai Amr, sebaik-baik harta yang baik adalah untuk orang yang shalih”.[3]

Ya, sebaik-baik harta yang baik adalah untuk orang yang shalih. Karena orang shalih mengetahui hak-hak harta, sehingga dia akan melaksanakan hak harta dengan sebaik-baiknya. Harta adalah sarana, maka orang shalih menjadikannya sebagai sarana ketaatan. Harta adalah alat, maka orang shalih menjadikannya sebagai alat kebaikan. Harta adalah kendaraan, maka orang shalih menjadikannya sebagai kendaraan menuju kemuliaan di hari Pembalasan, sehingga mereka meraih derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka.

ORANG SHALIH YANG KAYA MEMBORONG PAHALA
Kekayaan adalah anugrah Allâh Azza wa Jalla yang Dia berikan kepada orang yang Dia kehendaki sebagai ujian, apakah mereka akan bersyukur? Atas dasar itu, tidak boleh seorang pun hasad kepada orang yang kaya, karena itu merupakan pembagian rezeki dari Allâh Yang Maha Kuasa.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا “ :ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَى وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ”. فَقَالَ :”وَمَا ذَاكَ ؟”. قَالُوا :”يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ وَلاَ نَتَصَدَّقُ وَيُعْتِقُونَ وَلاَ نُعْتِقُ.” فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “أَفَلاَ أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ وَلاَ يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلاَّ مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ ؟”. قَالُوا :”بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ “. قَالَ :” تُسَبِّحُونَ وَتُكَبِّرُونَ وَتَحْمَدُونَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ مَرَّةً “. قَالَ أَبُو صَالِحٍ :” فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا :”سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ “. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :” ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ “.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa orang-orang fakir Muhajirin mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal!”. Maka beliau bertanya, “Apa itu?”. Mereka berkata, “Orang-orang kaya itu melakukan sholat sebagaimana kami melakukan sholat. Mereka melakukan puasa sebagaimana kami melakukan puasa. Mereka bershodaqah, tetapi kami tidak bershodaqah. Mereka memerdekakan budak, tetapi kami tidak memerdekakan budak”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah aku ajarkan sesuatu kepada kamu, dengannya kamu akan menyusul orang-orang yang telah mendahului kamu, dan dengannya kamu akan mendahului orang-orang setelah kamu, dan tidak ada seorangpun yang lebih baik dari kamu kecuali orang-orang yang melakukan seperti apa yang kamu lakukan?”. Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasûlullâh”. Beliau bersabda, “Kamu bertasbih, bertakbir, dan bertahmid tiga puluh tiga kali setelah setiap shalat”.

Abu Shalih (seorang perawi hadits)berkata, “Kemudian orang-orang fakir Muhajirin kembali mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Saudara-saudara kami, orang-orang kaya, telah mendengar apa yang telah kami lakukan, lalu mereka melakukan seperti itu!”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah karunia Allâh yang Dia berikan kepada orang yang Dia kehendaki”. [HR. Muslim, no. 595]

Tentang hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam dalam hadits ini terdapat dalil bagi orang yang menyatakan bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang sabar, namun dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang terkenal di kalangan Ulama Salaf dan Kholaf dari beberapa golongan. Wallâhu a’lam”. [4]

ORANG KAYA YANG BERSYUKUR, DERAJATNYA PALING TINGGI DI SISI ALLAH AZZA WA JALLA
Derajat manusia bertingkat-tingkat di hadapan Allâh Azza wa Jalla , dan orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa. Barangsiapa lebih banyak melakukan ketaatan dan lebih banyak meninggalkan kemaksiatan, dengan diiringi keimanan dan keikhlasan, maka dia lebih mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa orang yang kaya dan berilmu, lalu bersyukur dengan cara bertaqwa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ilmu agama dan hartanya, dia adalah orang yang paling mulia di sisi-Nya. Sebagaimana di sebutkan di dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الْأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ثَلَاثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ, وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا, وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ:

1. عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ
2. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
3. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ
4. وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dari Abu Kabsyah al-Anmâri Radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga (perkara) aku bersumpah terhadap ketiganya, dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda: Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shodaqah. Tidaklah seorang hamba dizhalimi dengan kezhaliman, lalu dia bersabar terhadap kezhaliman itu kecuali Allâh menambahkan kemuliaan kepadanya. Tidaklah seorang hamba membuka pintu permintaan, kecuali Allâh membukakan pintu kefakiran, atau kalimat seperti itu.

Dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda: Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang:

1. Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rezeki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rezeki, dan dia mengetahui hak bagi Allâh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allâh).

2. Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa ilmu, namun Dia (Allâh) tidak memberikan rezeki berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.

3. Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia (Allâh) tidak memberikan rezeki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allâh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allâh).

4. Hamba yang Allâh tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[5]

Marilah kita perhatikan kandungan hadits ini. Hadits ini menunjukkan bahwa hamba yang paling utama di sisi Allâh adalah hamba yang kaya dan bersyukur. Karena bertaqwa kepada Allâh pada nikmat yang telah Dia berikan, berbuat baik kepada kerabat, dan mengetahui hak bagi Allâh Azza wa Jalla pada nikmat adalah perwujudan rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas segala nikmat-Nya.

HAKEKAT SYUKUR
Syukur merupakan sikap mengakui pemberian nikmat terhadap pemberi nikmat dengan bentuk kepatuhan dan kecintaan. Dilakukan dengan tiga perkara, sebagaimana disebutkan di dalam sya’ir:

أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلاَثَةً
يَدِي وَلِسَانِي وَ الضَّمِيْرَ المُحَجَّبَا

Nikmat (darimu) memberikan tiga faedah dariku kepada kamu
Tanganku, lidahku, dan hatiku yang tersembunyi [6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Hakekat syukur dalam peribadahan adalah: tampaknya bekas nikmat Allâh pada lidah hamba-Nya: yaitu dengan pujian dan pengakuan (terhadap nikmat itu), pada hati hamba: yaitu dengan menyaksikan dan mencintai, dan pada anggota badan hamba, yaitu dengan patuh dan taat. Sehingga syukur dibangun di atas lima tiang: Ketundukan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, kecintaannya, pengakuan terhadap nikmatnya, pujiannya terhadapnya dengan sebab nikmat itu, dan dia tidak mempergunakannya pada perkara yang tidak disukainya oleh pemberi nikmat itu. Inilah lima fondasi syukur, bangunan syukur berada di atas lima ini. Maka jika salah satunya tidak ada, rusaklah satu fondasi dari fondasi-fondasi syukur. Semua orang yang membicarakan tentang syukur dan definisinya, maka pembicaaraannya kembali dan berkisar kepada lima hal ini”.[7]

Dan perlu diketahui bahwa kenikmatan Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya ada dua macam: nikmat yang mutlak dan nikmat muqayyad. Pengertian nikmat mutlak, nikmat yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan abadi, seperti Islam, Sunnah, dan lainnya. Adapun nikmat muqayyad, nikmat yang kebahagiaannya khusus di dunia ini, seperti: anggota badan yang lengkap, kesehatan, rezeki, harta benda, anak istri, kedudukan, dan lainnya. Semua ini wajib disyukuri. Dan ini merupakan jalan keutuhan dan berkembangnya nikmat tersebut. Sebaliknya, dengan tidak disyukuri, nikmat akan lenyap.

Kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla , agar membimbing kita untuk mensyukuri nikmat-Nya dan melindungi kita dari perbuatan mengingkari nimat-Nya. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Mendengar dan Menerima doa.

Wal-hamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn. [8]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
___
Footnote
[1]. Majmû’ Fatâwa 11/21; Lihat juga Majmû’ Fatâwa 11/119
[2]. HR. al-Bukhâri, no. 6443; Muslim, no. 94
[3]. HR. Ahmad, no. 18236; dishahîhkan oleh al-Albâni di dalam Takhrij Kitab Musykilatul Faqr
[4]. Syarh an-Nawawi 2/372
[5]. HR. at-Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Mâjah, no: 4228; dan lainnya. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah, no: 3406 dan Lihat juga: Al-‘Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hlm: 252-253
[6]. Syarh ‘Aqîdah Wâsithiyah, Dr. Muhammad Khalîl Harrâs, hlm: 50, tahqîq: ‘Alwi bin Abdul Qodir As-Saqqâf, penerbit: Darul Hijroh, cet: 2, th: 1414H / 1993M
[7]. Madârijus Sâlikîn; 2/200-201, Ibnul Qayyim; tahqîq: ‘Imâd ‘Amir, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo; Thn. 1424 H / 2003 M )
[8]. Fiqhul Ad’iyah wal Adzkâr, hlm: 1/269-279, Syaikh ‘Abdur Razzâq bin ‘Abdul Muhshin al-Badr, dosen Universitas Islam Madinah Arab Saudi Via HijrahApp

repost : Berbagi Ilmu Kajian Sunnah

Posting Komentar

0 Komentar