عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَلَا رَسُولُ اللهِ :
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٧
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ: فَإِذَا رَأَيْت الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوهُمْ
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang maknanya), Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya adalah ayat-ayat yang muhkamat, itulah ummul Kitab (pokok-pokok isi al-Qur’an)[1] dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya[2], padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah. Adapun orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya) selain orang-orang yang berakal. (Ali ‘Imran: 7)
Aisyah berkata bahwa kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila kalian melihat orang-orang yang senantiasa mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih, merekalah orang-orang yang Allah sebut (dalam ayat ini) maka waspadalah kalian dari mereka!”
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Jami’ ash-Shahih, Kitab Tafsir, bab “Tafsir Ali Imran” (8/209 no. 4547) dan al- Imam Muslim, Kitab “al-Ilmu” (4/2053 no. 2665).
Keduanya meriwayatkan hadits ini melalui jalan Abdullah bin Maslamah, dari Yazid bin Ibrahim at-Tustari, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah radhiallahu ‘anha. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, al-Ajurri, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, al-Lalikai, al-Harawi, dan ad-Darimi.
Tahdzir, Benteng Kemurnian Al-Qur’an dan As-Sunnah
Islam telah Allah subhanahu wa ta’ala sempurnakan dan akan terus terjaga kemurniannya hingga akhir zaman. Allah subhanahu wa ta’ala yang menurunkan syariat-Nya, Dia pula yang menjaganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Allah subhanahu wa ta’ala berjanji dalam ayat ini bahwa Dia akan menjaga al-Qur’an. Penjagaan tersebut meliputi penjagaan terhadap lafadz-lafadz al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan serta penjagaan terhadap pemahaman al- Qur’an. Sekali lagi, yang Allah subhanahu wa ta’ala jaga bukan lafadz al-Qur’an semata, melainkan juga pemahaman yang benar terhadap setiap ayat dalam al-Qur’an.
Bagaimana pemahaman al-Qur’an terjaga? Allah subhanahu wa ta’ala menjaganya dengan menjaga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta membangkitkan para ulama yang senantiasa memberikan tahdzir (peringatan) kepada umat dari segala penyimpangan dan pemahaman yang keliru terhadap ayat al-Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
Sesungguhnya, tahdzir (peringatan) dari pemikiran yang menyimpang dan merusak pemahaman al-Qur’an, demikian pula tahdzir dari manusia yang membawa pemikiran tersebut, sudah diawali oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tampak dalam hadits yang ada di hadapan kita.
Beliau membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ali Imran tentang segolongan manusia yang suka mencari ayat-ayat yang masih samar (mutasyabih) lantas mereka tafsirkan sesuai dengan hawa nafsu dan akal mereka, untuk menimbulkan fitnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tinggal diam, tetapi segera memberikan tahdzir peringatan tegas kepada umat dengan sabda beliau,
فَإِذَا رَأَيْت الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوهُمْ
“Apabila kalian melihat orang-orang yang senantiasa mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih, merekalah orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala sebut (dalam ayat ini) maka waspadalah kalian dari mereka!”
Benar apa kata Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan melihat orang yang beliau peringatkan. Belum lama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, model manusia tersebut bermunculan; Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, dan seterusnya hingga kiamat kelak.
Mereka dari dahulu senantiasa menebarkan kebatilan dengan mengambil ayat mutasyabih atau hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mungkin bisa mereka pelintirkan agar selaras dengan akidah sesat mereka.
Allahu Akbar! Demikian berharga tahdzir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah benteng yang sangat kokoh untuk menjaga kemurnian Islam dari segala kerusakan.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada tahdzir (peringatan keras) dari bergaul dengan ahli zaigh (orang-orang yang menyimpang), ahli bid’ah, dan orang yang suka mengikuti perkara musykil (samar) dengan tujuan menimbulkan fitnah.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah tahdzir (peringatan keras) dari mendengar ucapan orang yang mengikuti ayat mutasyabihat (samar maknanya) dari al-Qur’an… Kelompok yang pertama kali muncul (mengambil ayat mutasyabihat) adalah Khawarij. Bahkan, ada riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau menafsirkan ayat ini (orang yang mengikuti ayat mutasyabihat, -pen.), mereka adalah Khawarij.” (Fathul Bari, 8/211)
Berbekal perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah, para ulama bangkit dan berdiri di garda terdepan dalam memerangi segala penyimpangan, serta memperingatkan umat dari bahaya pengekor hawa nafsu, membongkar kesesatan oknum yang berpenyakit dan bermaksud menimbulkan fitnah. Tujuannya pasti, membela agama Allah subhanahu wa ta’ala dan menjaga Islam dari segala noda yang mengotori kemurniannya.
Selamat dengan Mengembalikan Mutasyabih kepada Muhkam
Di antara faedah penting dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha ialah bahwa beriman kepada seluruh ayat dan mengembalikan ayat yang mutasyabihat kepada muhkamat adalah sebab keselamatan dari kesesatan.
Tentang ayat Ali Imran di atas Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkam. Ayat-ayat ini merupakan Ummul Kitab (pokok Kitab). Ayat muhkam adalah ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya, tidak ada kesamaran sama sekali bagi semua orang tentang ayat tersebut.
Ada sebagian lagi ayat mutasyabih, yaitu ayat yang kurang jelas maknanya bagi kebanyakan atau sebagian orang.[4] Akan tetapi, barang siapa mengembalikan makna (ayat mutasyabih) yang belum jelas kepada yang jelas maknanya (muhkam) dan menjadikan yang jelas maknanya sebagai hakim bagi yang belum jelas baginya, niscaya dia akan mendapatkan petunjuk.
Barang siapa melakukan kebalikannya (meninggalkan ayat yang muhkam dan membawa ayat mutasyabih kepada hawa nafsu), sungguh dia tersesat.”
Pembaca rahimakumullah, sebagai contoh perilaku orang yang mengikuti mutasyabihat dan membawanya kepada penafsiran hawa nafsunya adalah perilaku orang Khawarij. Tidak diragukan bahwa Khawarij termasuk manusia yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dalam sabda beliau, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Mereka menggunakan ayat mutasyabihat untuk mengafirkan para pelaku dosa besar, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang ahli neraka,
وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فَسَقُواْ فَمَأۡوَىٰهُمُ ٱلنَّارُۖ كُلَّمَآ أَرَادُوٓاْ أَن يَخۡرُجُواْ مِنۡهَآ أُعِيدُواْ فِيهَا وَقِيلَ لَهُمۡ ذُوقُواْ عَذَابَ ٱلنَّارِ ٱلَّذِي كُنتُم بِهِۦ تُكَذِّبُونَ ٢٠
Dan adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya.” (as- Sajdah: 20)
Khawarij dan yang sejenisnya berkata, “Lihat ayat ini! Setiap kali para penghuni neraka akan keluar, dikembalikan lagi ke dalamnya! Artinya, para pelaku dosa besar yang telah masuk neraka tidak ada harapan keluar darinya. Jadi, mereka kafir!”
Ar-Rasikhun (orang-orang yang mendalam ilmunya), ketika membaca ayat yang menyebutkan tidak dikeluarkannya penduduk neraka dari azab, mereka memahami bahwa yang kekal dalam neraka adalah orang kafir, bukan para pelaku dosa besar dari kalangan muslimin. Seorang muslim, walau keimanan mereka seberat dzarrah dan selama masih dalam lingkaran Islam, sungguh suatu saat akan diselamatkan dari api neraka.
Demikian ulama memahami ayat ini, tentu saja dengan melihat ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian banyak, bahkan mencapai derajat mutawatir, yang menunjukkan bahwa apabila kaum muslimin melakukan dosa besar, akan dikeluarkan dari neraka. Inilah ayat dan hadits muhkam. Sesungguhnya jalan keselamatan adalah mengembalikan ayat mutasyabihat kepada ayat muhkam.
Dahulu, ada sekelompok Khawarij yang Allah subhanahu wa ta’ala selamatkan dari pemikiran sesat dan penafsiran yang salah dari al-Qur’an. Di antara sebabnya, mereka mau mengembalikan ayat mutasyabih kepada muhkamat.
Yazid bin Faqir, salah seorang yang Allah subhanahu wa ta’ala selamatkan, bercerita,
كُنْتُ قَدْ شَغَفَنِي رَأْيٌ مِنْ رَأْيِ الْخَوَارِجِ، فَخَرَجْنَا فِي عِصَابَةٍ ذَوِي عَدَدٍ نُرِيدُ أَنْ نَحُجَّ، ثُمَّ نَخْرُجَ عَلَى النَّاسِ، قَالَ: فَمَرَرْنَا عَلَى الْمَدِينَةِ، فَإِذَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ, جَالِسٌ إِلَى سَارِيَةٍ، عَنْ رَسُولِ اللهِ قَالَ:فَإِذَا هُوَ قَدْ ذَكَرَ الْجَهَنَّمِيِّينَ،
قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللهِ، مَا هَذَا الَّذِي تُحَدِّثُونَ؟ وَاللهُ يَقُولُ } إِنَّكَ مَن تُدۡخِلِ ٱلنَّارَ فَقَدۡ أَخۡزَيۡتَهُۥ{ وَ } كُلَّمَآ أَرَادُوٓاْ أَن يَخۡرُجُواْ مِنۡهَآ أُعِيدُواْ فِيهَا { فَمَا هَذَا الَّذِي تَقُولُونَ؟
قَالَ: فَقَالَ: أَتَقْرَأُ الْقُرْآنَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: فَهَلْ سَمِعْتَ بِمَقَامِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ –يَعْنِي الَّذِي يَبْعَثُهُ اللهُ فِيهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: فَإِنَّهُ مَقَامُ مُحَمَّدٍ الْمَحْمُودُ الَّذِي يُخْرِجُ اللهُ بِهِ مَنْ يُخْرِجُ.
قَالَ: ثُمَّ نَعَتَ وَضْعَ الصِّرَاطِ، وَمَرَّ النَّاسِ عَلَيْهِ–قَالَ: وَأَخَافُ أَنْ لَا أَكُونَ أَحْفَظُ ذَاكَ– قَالَ: غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ زَعَمَ أَنَّ قَوْمًا يَخْرُجُونَ مِنَ النَّارِ بَعْدَ أَنْ يَكُونُوا فِيهَا. قَالَ: –يَعْنِي– فَيَخْرُجُونَ كَأَنَّهُمْ عِيدَانُ السَّمَاسِمِ. قَالَ: )فَيَدْخُلُونَ نَهَرًا مِنْ أَنْهَارِ الْجَنَّةِ، فَيَغْتَسِلُونَ فِيهِ، فَيَخْرُجُونَ كَأَنَّهُمُ الْقَرَاطِيسُ (
فَرَجَعْنَا قُلْنَا: وَيْحَكُمْ، أَتُرَوْنَ الشَّيْخَ يَكْذِبُ عَلَى رَسُولِ اللهِ؟ فَرَجَعْنَا، فَلَا وَاللهِ مَا خَرَجَ مِنَّا غَيْرُ رَجُلٍ وَاحِدٍ–أَوْ كَمَا قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ
“Dahulu aku terpengaruh pemikiran Khawarij. Suatu saat, kami keluar untuk berhaji dalam sebuah rombongan memiliki jumlah (cukup banyak) kemudian kami berniat keluar (memberontak) kepada manusia.
Dalam perjalanan, kami melewati Madinah. Ternyata (kami jumpai) Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu sedang duduk di sebuah tiang menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kaum muslimin.
Beliau ternyata sedang menyebut jahannamiyyin[5]. Saya berkata kepada (Jabir), ‘Wahai sahabat Rasulullah, apa yang engkau ceritakan ini? Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّكَ مَن تُدۡخِلِ ٱلنَّارَ فَقَدۡ أَخۡزَيۡتَهُۥ
‘Sesungguhnya siapa saja yang Engkau masukkan ke dalam neraka, sungguh Engkau telah menghinakannya,’ (Ali ‘Imran: 192) dan,
كُلَّمَآ أَرَادُوٓاْ أَن يَخۡرُجُواْ مِنۡهَآ أُعِيدُواْ فِيهَا
‘Setiap kali mereka hendak keluar dari (neraka) itu, mereka dikembalikan ke dalam (neraka) tersebut.’ (as-Sajdah:20)
Lantas apa yang kalian ucapkan ini?’ Jabir berkata, ‘Apakah engkau membaca al-Qur’an?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Jabir berkata, ‘Apakah engkau pernah mendengar tentang maqam (kedudukan yang terpuji) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?’
Aku menjawab, ‘Ya.’ Jabir berkata, ‘Sesungguhnya itu adalah maqam Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terpuji (al-Maqam al-Mahmud), yang dengan itu Allah subhanahu wa ta’ala akan mengeluarkan siapa saja yang (Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki) akan dikeluarkan.’
Kemudian (Jabir radhiallahu ‘anhu) menyebutkan sifat dipancangkannya ash-shirath (jembatan) dan bagaimana manusia berjalan di atasnya. (Perawi) berkata ‘Aku khawatir tidak menghafal hal tersebut. Akan tetapi, (dalam hadits tersebut) Jabir menyebutkan bahwa sekelompok kaum keluar dari neraka setelah berada di dalamnya.’
Jabir berkata, ‘Mereka dikeluarkan bagaikan kayu hitam yang telah kering.’ ‘Kemudian mereka dimasukkan ke dalam sebuah sungai di antara sungaisungai surga. Lalu mereka mandi di (sungai) itu. Mereka kemudian keluar seperti kertas (yang sangat putih).’ Kami pun saling berbicara, ‘Apakah kalian menyangka bahwa Syaikh ini (Jabir) berdusta terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!’ (Tentu tidak mungkin Jabir berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, –pen.)
Kami pun kembali dan demi Allah, tidak ada di antara kami yang melakukan khuruj (pemberontakan), kecuali seorang saja.”–Atau sebagaimana hal ini diceritakan oleh Abu Nu’aim.
Kisah Yazid al-Faqir bersama sahabat Jabir bin Abdilah radhiallahu ‘anhu adalah contoh akibat baik mengembalikan ayat mutasyabih kepada yang muhkam, baik dalam al-Qur’an maupun al- Hadits. Demikianlah jalan ar-Rasikhun sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat yang dibacakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha di atas,
وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ
Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat mutasyabihat. Semuanya itu berasal dari Rabb kami.”
Tentang ayat ini, asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Para ahli ilmu (yang memahami) al- Qur’an mengembalikan makna ayat mutasyabihat (kurang jelas) kepada ayat muhkam (maknanya jelas) sehingga menjadi jelas. Mereka juga berkata, ‘Semua ayat itu datang dari Rabb kami’. Maksudnya, semua yang datang dari Rabb tidak ada yang saling bertentangan.
Seandainya ada makna yang belum jelas pada satu tempat (yakni mutasyabih), maka telah dijelaskan pada tempat lain (muhkam). Jadi, (semua) dapat dipahami dan kesamaran dalam memahaminya menjadi sirna….
Kesimpulannya, jika terdapat ayat yang masih mujmal (global) atau belum jelas maknanya pada satu tempat, di tempat lain ayat tersebut telah dijelaskan sehingga menjadi jelas maknanya.” (al-Qawa’idul Hisan, asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di)
As-Sa’di rahimahullah menyebutkan contoh-contoh yang sangat bagus dalam hal mengembalikan ayat mutasyabih kepada ayat muhkam. Silakan dirujuk pada kitab tersebut.
Para Sahabat radhiallahu ‘anhum Melanjutkan Tugas Menegakkan Tahdzir
Sudah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwa para sahabat adalah sebaik-baik umat manusia. Di antara sebabnya, mereka adalah generasi yang kokoh dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala puji mereka dalam firman-Nya,
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Salah satu contoh upaya sahabat memperingatkan dan menjaga umat dari pemikiran sesat dan orang yang mencari fitnah dengan mengikuti ayat mutasyabihat adalah kisah Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu dalam upayanya membentengi umat dari Shabigh dan pemikiran yang dibawanya.
Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa Shabigh at-Tamimi mendatangi Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu (dalam keadaan Umar telah mendengar bahwa Shabigh termasuk orang yang suka mengikuti ayat mutasyabihat, untuk menimbulkan fitnah –pen.).
Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, beri tahu aku tentang (firman Allah subhanahu wa ta’ala),
وَٱلذَّٰرِيَٰتِ ذَرۡوٗا ١
Demi yang menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya. (Adz-Dzariyat:1)”
Umar radhiallahu ‘anhu menjawab, “(Yang menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya) itu adalah angin. Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya, niscaya aku tidak akan mengatakannya.”
Dia berkata lagi, “Beri tahu pula aku tentang (firman Allah),
فَٱلۡحَٰمِلَٰتِ وِقۡرٗا ٢
Demi yang membawa beban berat (hujan). (Adz-Dzariyat: 2)”
“Dia adalah awan,” jawab ‘Umar. “Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya, niscaya aku tidak akan mengatakannya.”
Dia berkata, “Beri tahu aku tentang (firman Allah subhanahu wa ta’ala),
فَٱلۡمُقَسِّمَٰتِ أَمۡرًا ٤
Demi yang membagi-bagi urusan. (Adz-Dzariyat: 4)”
‘Umar menjawab, “Mereka adalah malaikat. Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya, niscaya aku tidak akan mengatakannya.”
Dia berkata lagi, “Beri tahu aku tentang (firman Allah subhanahu wa ta’ala),
فَٱلۡجَٰرِيَٰتِ يُسۡرٗا ٣
Demi yang berjalan dengan mudah. (Adz-Dzariyat: 3)”
“Itu adalah kapal-kapal,” jawab ‘Umar. “Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya, niscaya aku tidak akan mengatakannya.”
(Shabigh menanyakan ayat mutasyabihat tidak untuk mencari ilmu, tetapi dengan niat mendebat atau mencari fitnah).
Perawi meriwayatkan bahwa Shabigh kemudian diperintahkan untuk dicambuk seratus kali dan ditahan di sebuah rumah hingga sembuh (lukanya). Setelah itu, dia dipanggil kembali dan dicambuk seratus kali lagi.
Kemudian dia dibawa di atas pelana tunggangan. Umar radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu agar ia diharamkan bermajelis bersama manusia. Dia pun terus diperlakukan seperti itu. Demikianlah, tahdzir Umar radhiallahu ‘anhu berjalan, memperingatkan umat dari Shabigh dan pemikiran yang dibawanya.
Akhirnya, Shabigh mendatangi Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu dan bersumpah dengan sumpah mughallazhah bahwa ia sudah tidak lagi mendapatkan apa yang sebelumnya ia dapatkan di kepalanya.
Abu Musa pun menulis surat untuk mengabari ‘Umar radhiallahu ‘anhu. ‘Umar radhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku kira dia telah benar. Biarkan dia berbaur dengan manusia.”[6]
Tahdzir adalah Bagian Kehidupan Para Ulama
Tahdzir adalah bagian kehidupan para ulama. Mereka memahami bahwa diamnya orang yang mengerti kejelekan tanpa memberi peringatan adalah bahaya bagi umat.
Ketika fitnah melanda, ketika pemikiran sesat, dan ideologi yang membahayakan umat bermunculan; seharusnya orang yang berilmu memberi peringatan kepada umat atas bahaya yang mengancam tersebut dan tidak menyembunyikan ilmu yang ia ketahui.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah subhanahu wa ta’ala dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (Al- Baqarah: 159)
Tentang kemungkaran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
“Barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, (tolaklah) dengan hatinya; dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al- Khudri radhiallahu ‘anhu)
Diamnya seorang alim atas sebuah kemungkaran, apalagi kemungkaran itu telah merebak, adalah sebab menyimpangnya umat dan turunnya laknat Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini sebagaimana ditunjukkan ayat yang telah lalu. Hal ini pula yang menimpa Bani Israil, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٧٨
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (al-Maidah: 78)
Karena ayat-ayat al-Qur’an dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah, para ulama tidak pernah berhenti memperingatkan umat dari tokoh, kitab, dan pemikiran sesat.
Anda mungkin pernah mendengar kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa az-Zanadiqah fima Syaku fihi min Mutasyabihil Qur’an wa Taawwaluhu ‘ala Ghairi Ta’wilihi. Kitab ini adalah karya al-Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) untuk membantah Jahmiyah dan Zanadiqah yang menuduh bahwa ayat al-Qur’an saling bertentangan. Mereka mengambil ayat mutasyabih lantas mereka tafsirkan dengan hawa nafsu, kemudian mereka benturkan dengan ayat yang lain.
Sungguh, karya al-Imam Ahmad ini begitu mahal. Beliau rahimahullah memegang teguh wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْت الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوهُمْ
“Apabila kalian melihat orang yang senantiasa mengikuti ayat-ayat mutasyabbih; merekalah orang yang Allah sebut (dalam ayat ini). Waspadalah kalian dari mereka!”
Karya al-Imam Ahmad rahimahullah hanyalah satu contoh dari lautan karya para ulama sejak dahulu hingga sekarang yang membantah dan memperingatkan umat dari kesesatan dan tokoh penyesat.
Tentang kitab-kitab bantahan kepada ahlul ahwa dan pemikiran mereka atau dikenal dengan kitab rudud, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Demi Allah, kitab-kitab tersebut termasuk ilmu yang menjaga, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, ‘Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan. Namun, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir kejelekan itu menemuiku.’[7]
Seorang harus mengenal kitab ahlul bid’ah dan (mengenal) kesesatan. Jika tidak, sungguh kebanyakan pemuda tidaklah tersesat kecuali ketika mereka kehilangan kitab-kitab yang melindungi mereka. Kitab-kitab bantahan (rudud) itu memuat perlindungan bagi para pemuda.
Orang yang melakukan tarbiyah (pendidikan), tetapi tidak melakukan penjagaan dan tidak meletakkan perlindungan terhadap kaum muda, aku permisalkan ibarat orang yang menanam lantas didatangi oleh hewan yang memakan habis tanaman tersebut.
Demikianlah tanaman ketika tidak dipagari. Seperti itu pula ketika tidak ada perlindungan berupa tahdzir dari bahaya bid’ah, manusia akan binasa. Oleh karena itu, salaf mendapatkan keberhasilan besar tatkala menggunakan metode tahdzir terhadap ahlul bid’ah. Mereka berhasil menjaga (melindungi) sunnah dan jamaah.
Namun, ketika pagar ini dihancurkan dan perhatian terhadap penjagaan masyarakat sunni dari serangan ahlul bid’ah semakin menipis, ahlul bid’ah pun melancarkan serangannya dan berhasil menguasai mereka. Tersebarlah (apa yang saat ini kita saksikan berupa) pengeramatan kuburan, khurafat, dst.
Kitab-kitab bantahan (rudud) tersebut, barang siapa menginginkan kebaikan, sungguh—demi Allah—dia akan membacanya. Dengan begitu, dia akan dapati di dalamnya pembeda antara yang haq dan yang batil. Ketika itu, dia akan mendapati penjagaan dan perlindungan dari penyakit (bid’ah) tersebut.
Sebagaimana kita memberikan kekebalan dan imunisasi pada bayi kita dari penyakit sebagai wujud perhatian besar, demikian pula kita wajib memberi perhatikan terhadap akal anak-anak kita. Kita melindunginya, menyampaikan tahdzir (peringatan) kepadanya, dan memberikan pemahaman kepadanya sehingga akalnya mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk.” (Majmu’ Kutub wa Rasa’il wa Fatawa asy-Syaikh Rabi’, 14/282—283)
Demikianlah, tahdzir terhadap kebatilan dan pengusungnya memiliki peranan yang demikian agung dalam hal menjaga kemurnian Islam. Lantas bagaimana pendapat Anda tentang mereka yang meremehkan manhaj tahdzir ini? Allahul musta’an.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mudahkan kita dan kaum muslimin melaksanakan dengan baik salah satu bagian dari agama ini sesuai dengan syariat-Nya.
Baca juga Artikel Sebelumnya : Perkara Baru dalam Sorotan Syariat
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[1] Yang dikembalikan pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an kepadanya.
[2] Mencari takwilnya sesuai dengan hawa nafsu mereka.
[3] Perhatikanlah bagaimana Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menukilkan tafsir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap ayat yang ditanyakan oleh Shabigh, dalam kisah yang akan disebutkan. Setiap jawaban Umar diiringi dengan ucapan beliau, “Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya, niscaya aku tidak akan mengatakannya.” Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menjaga kemurnian makna ayat al-Qur’an dari pertanyaan orang yang hatinya berpenyakit. Allahu a’lam.
[4] Al-Khaththabi berkata, “Ayat mutasyabih ada dua jenis. Pertama, ayat mutasyabih yang jika dikembalikan kepada ayat muhkam akan diketahui maknanya (dengan jelas). Kedua, ayat mutasyabih yang memang tidak mungkin untuk mencapai hakikatnya (seperti hakikat sifat Allah subhanahu wa ta’ala -pen.).” (Fathul Bari, 8/211)
[5] Jahannamiyyun adalah sebutan bagi para pelaku dosa besar yang disiksa di neraka Jahannam yang kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengeluarkan dari neraka dengan sebab syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau syafaat orang yang beriman.
[6] Kisah ini dibawakan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikhnya yang dinukil dari al Hafizh Abu Bakr al-Bazzar dan ad-Daruquthni. Lihat Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, karya al-Imam Abu ‘Utsman bin ‘Abdur Rahman ash-Shabuni asy-Syafi’i.
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3606 dan 7084, Muslim no. 1847. Demikian pula diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dengan panjang dalam al-Musnad (5/386,403)
sumber : https://asysyariah.com/kemurnian-agama-terjaga-dengan-peringatan-ulama/
repost : Berbagi Ilmu Kajian Sunnah
0 Komentar