Allah subhanahu wa ta’ala memiliki hikmah yang indah. Di antaranya ada yang dipahami dan ada yang tidak dipahami oleh siapa pun selain-Nya. Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menamai diri-Nya dengan al-Hakim, Dzat Yang Mahabijaksana, melainkan karena semua takdir dan syariat-Nya penuh hikmah.
Demikian samarnya maksud terjadinya musibah yang menimpa manusia hingga membutuhkan renungan yang lama dan pandangan yang saksama. Meskipun demikian, terkadang manusia tidak memahami apa yang terjadi. Terkadang, ada yang memahami sebagian kecilnya dan ada yang dimudahkan memahami sebagian besarnya.
Kita wajib memahami bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki banyak hikmah dalam pengaturan makhluk-Nya yang tersamarkan dari pemahaman kebanyakan para ulama, lebih-lebih orang awam. Dia memiliki hikmah sesuai dengan keluasan ilmu-Nya yang mutlak. Manusia juga memiliki hikmah, tetapi sesuai dengan sedikitnya ilmu mereka.
Kaidah (memahami) hikmah-hikmah ini telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala secara global. Namun, hikmah dari akibat musibah dan bencana bagi manusia sering kali dirahasiakan oleh-Nya. Oleh karena itu, manusia terkadang bisa menangkap satu hikmah, tetapi tersamarkan baginya sekian banyak hikmah yang lain.
Dalam hal ini, manusia sesuai dengan keyakinannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kekuatan imannya terhadap nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala dan makna yang dikandungnya (di antaranya: al-Hakim, al-Lathif, al-Khabir, al-Qawi, al-Aziz, dan al-Jabbar).
Barang siapa yang keyakinannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala disertai dengan ilmu dan pengetahuan terhadap nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya, ia akan mampu memahami sesuatu yang tidak dipahami oleh orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ لِلهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memilki 99 nama. Barang siapa mengetahui, memahami, dan mengamalkan konsekuensinya, ia akan masuk ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hal lain yang perlu dipahami, beragam musibah dan bencana, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang tampak maupun yang tidak, tidaklah terjadi melainkan karena perbuatan dosa. Namun, hikmah yang terjadi berbeda-beda.
Pengaruhnya akan tampak bagi orang yang paham dan merenungkan keadaan. Secara umum, manusia lebih tahu tentang dirinya sendiri daripada orang lain. Kaidah ini telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di banyak tempat dalam kitab-Nya. Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya dalam sabdanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفۡسِكَۚ
“Apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (an-Nisa: 79)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga menjadi penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari no. 5318)
Terkadang, ada bencana dan musibah yang terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Misalnya, seseorang gelisah tanpa tahu asal-muasalnya karena kelalaian akibat kesalahan-kesalahannya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menghikayatkan keadaan para sahabat setelah musibah terjadi pada Perang Uhud,
أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتۡكُم مُّصِيبَةٌ قَدۡ أَصَبۡتُم مِّثۡلَيۡهَا قُلۡتُمۡ أَنَّىٰ هَٰذَاۖ قُلۡ هُوَ مِنۡ عِندِ أَنفُسِكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيرٌ
“Mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuh kalian (pada Perang Badr), kalian berkata, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.’ Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran: 165)
Jadi, segala bentuk musibah, meskipun sangat kecil, asalnya adalah dari hamba dan disebabkan oleh dosanya. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ يُصَابُ بِهَا الْمُسْلِمُ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang melainkan Allah menghapuskan dosanya dengan sebab itu, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sebuah kisah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Auf bin Abdillah. Dia berkata bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud berjalan, tiba-tiba terputus tali sandalnya. Spontan beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Ada yang bertanya kepada beliau, “Hanya karena seperti ini engkau mengucapkan (kalimat itu)?”
Beliau menjawab, “Ini musibah.”
Terkadang musibah menimpa orang-orang yang saleh dan paling mulia di antara manusia. Akan tetapi, di balik musibah tersebut terdapat pengaruh dan hikmah yang berbeda bagi yang tertimpa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٍ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ
“Sungguh, akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (al-Baqarah: 155—156)
Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Atha yang berkata, “(Orang yang dimaksud dalam ayat ini) adalah para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ayat ini mengandung peringatan dan pengajaran bagi kaum muslimin bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadi penghalang antara mereka dan musibah dunia yang akan menimpa. Adakalanya seseorang terkena musibah, sedangkan orang lain yang lebih besar dosanya selamat. Adakalanya seseorang terkena musibah juga, tetapi lebih ringan. Semua ini berdasarkan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang bertingkat-tingkat dan tidak sama.
Ketika tertimpa musibah, sebagian manusia merasa sangat terbebani. Akhirnya, ia marah dan tidak sabar sehingga tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu, dampak musibah terhadap orang yang mampu bersabar lebih besar daripada dampaknya terhadap orang yang marah/berkeluh kesah, meskipun musibah yang menimpanya sama. Pada sebagian manusia, musibah menjadi rahmat baginya sehingga ia kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ibnu Jarir di dalam Tafsir-nya meriwayatkan pendapat Ibnu Abbas tentang surat as-Sajdah ayat 21,
وَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنَ ٱلۡعَذَابِ ٱلۡأَدۡنَىٰ دُونَ ٱلۡعَذَابِ ٱلۡأَكۡبَرِ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).”
Bahwa makna azab yang dekat adalah musibah.
Musibah yang menimpa manusia sendiri bermacam-macam. Ada yang tampak, ada yang tersembunyi. Demikian pula dari sisi jenis dan kadarnya. Sebagian manusia diuji dengan musibah yang tidak tampak, tetapi sejatinya lebih besar jika dibandingkan dengan musibah yang tampak pada orang lain.
Allah subhanahu wa ta’ala mengkhususkan dengan musibah yang demikian, karena hal itu lebih sesuai untuk menjadi penghapus dosanya. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ الْعَبْدِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يُكَفِّرُهَا مِنَ الْعَمَلِ ابْتَلَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْحُزْنِ لِيُكَفِّرَهَا عَنْهُ
“Apabila telah banyak dosa seorang hamba, dan ia tidak memiliki amalan yang menjadi penghapusnya, Allah ‘azza wa jalla mengujinya dengan kesedihan supaya dosanya terhapuskan.” (HR. Ahmad)
Kemampuan akal dan pemahaman manusia cenderung memahami keumuman sebab dan akibat. Itulah kelemahan sisi manusiawinya. Akan tetapi, Allah subhahanahu wa ta’ala memberinya akal yang mampu memikirkan apa yang tersembunyi dari musibah itu. Dengan akalnya, dia mampu memetik hikmah yang samar dan sebab yang tersembunyi. Oleh karena itu, semakin sering dia merenungkan hikmah ilahiah, dia akan mampu memahami perkara yang tidak mampu dipahami oleh yang lainnya, yaitu agungnya kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala.
Di antara hikmah dari musibah adalah:
Sebagai Peringatan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا نُرۡسِلُ بِٱلۡأٓيَٰتِ إِلَّا تَخۡوِيفًا
“Dan Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” (al-Isra’: 59)
Qatadah rahimahullah menerangkan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menakut-nakuti manusia dengan tanda-tanda apa pun (bencana, petaka, pen.) yang Dia kehendaki. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran, menjadi ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian kembali kepada-Nya.”
Beliau menyatakan, “Telah sampai kepada kami berita bahwa pada masa Abdullah bin Mas’ud masih hidup terjadi gempa di Kufah. Beliau mengingatkan manusia dengan berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian meminta—dengan adanya bencana—agar kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya. Maka dari itu, bertobatlah!’.”
Hukuman
Alllah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, maksudnya mata pencaharian mereka rusak dan berkurang serta dan terjadi bencana alam. Diri mereka juga terserang penyakit, wabah, dan yang lainnya.
Semua itu terjadi karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), berupa perbuatan yang rusak dan merusak. Hal ini supaya mereka mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’alamembalas amal perbuatan dan membuat contoh/pelajaran untuk mereka dari balasan amal mereka di dunia agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Mahasuci Allah, Dzat yang menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya melalui cobaan-Nya serta memuliakan hamba-Nya dengan hukuman-Nya. Jika tidak, kalau saja Allah subhanahu wa ta’alamerasakan (azab) kepada mereka disebabkan perbuatan mereka, niscaya Dia tidak membiarkan satu pun makhluk yang melata (manusia) di atas permukaan bumi ini.”
Penghapus dosa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa seorang muslim suatu musibah berupa kesalahan, rasa sakit, kegundahan, kesusahan, gangguan dan tidak pula dukacita, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dengannya dari kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Said dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma)
Pahala yang mulia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي طَرِيقٍ إِذْ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala seorang laki-laki berjalan tiba-tiba ia mendapati ranting berduri berada di jalan lalu ia menyingkirkannya, Allah memberinya pahala dan mengampuninya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
sumber: https://asysyariah.com/hikmah-di-balik-musibah/ Via HijrahApp
repost : Berbagi Ilmu Kajian Sunnah
0 Komentar