NEGERI TANPA AYAH



Negeri tanpa ayah (fatherless country) adalah fenomena yang mau tidak mau harus diwaspadai oleh kita saat ini. Fenomena ini timbul ketika banyak ayah yang terjebak dalam peran sebagai pencari nafkah lahiriah keluarga semata, tanpa mau ambil peduli terhadap pendidikan dan pertumbuhan anak.

Sebuah penelitian yang dilakukan di tiga puluh tiga propinsi di Indonesia antara tahun 2009 sampai dengan 2010 memberikan kesimpulan bahwa negeri kita Indonesia layak untuk dinobatkan sebagai salah satu “Negeri Tanpa Ayah”. Bukan karena banyaknya anak yatim yang ditinggal mati ayahnya. Tapi karena para ayah yang tidak mau memperhatikan perkembangan anak-anak mereka.

Ibu Elly Risman, salah seorang peneliti yang terlibat dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa setelah melakukan wawancara kepada sekian banyak pasangan suami istri, terbukti bahwa di Indonesia peran ayah dalam mendidik anak sangatlah minim. Banyak pasangan yang mengira bahwa di dalam keluarga, tugas ayah hanya bekerja dan mencari nafkah, sedangkan kewajiban mendidik dan merawat anak itu adalah tugas seorang ibu.

Kita dapati banyak ayah yang berangkat kerja bahkan sebelum anak-anaknya bangun, dan pulang setelah anak terlelap dalam tidurnya. Tiba di rumah dalam keadaan lelah tanpa sempat berinteraksi dengan putra-putrinya.

Kemalangan ini semakin ditambah dengan egoisme sang ayah di akhir pekan. Banyak ayah yang lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka di akhir pekan untuk mengurusi hobi dan hangout bersama rekan-rekannya daripada mengisinya bersama anak-anak.

Efek Ketiadaan Figur Ayah

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada anak laki-laki, ketiadaan figur ayah akan menyebabkan anak laki-laki termotivasi melakukan perilaku negatif seperti merokok, mengkonsumsi minuman keras dan narkoba, menonton pornografi, terjerumus pada kenakalan remaja dan perilaku negatif lainnya.

Sementara itu bagi anak perempuan, kosongnya figur ayah dalam hidupnya akan mendorong munculnya rasa tidak aman karena persepsi terhadap tidak adanya perlindungan dalam kesehariannya. Hal ini mempengaruhi pandangannya terhadap lawan jenis, diri sendiri, dan dunia sekitarnya. Anak perempuan akan lebih mudah terjatuh pada pergaulan bebas, bahkan sampai pada perzinahan na’udzubillah.

Sebaliknya, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tentu memberikan pengaruh yang sangat positif. Anak yang mengalami hubungan yang intensif dengan ayahnya semenjak lahir akan tumbuh menjadi anak yang memiliki emosi yang aman (emotionally secure). Dia akan memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi dunia sekitar, dan ketika tumbuh dewasa mereka akan dapat mampu membangun relasi sosial yang baik dan relatif tidak bermasalah.

Selain itu, kehadiran ayah dalam keluarga juga akan berperan positif terhadap sang ibu. Dengan hadirnya figur ayah yang peduli di tengah-tengah keluarga akan mengurangi depresi (tekanan jiwa) pada sang ibu saat melakukan pengasuhan terhadap anak (maternal depression). Menurunnya depresi ibu tentu akan berdampak positif bagi pengasuhan terhadap anak.

Perintah di Dalam Al Quran bagi Para Ayah

Di dalam Islam sendiri, peran ayah telah diatur sedemikian rupa. Ayah adalah figur pemimpin yang bertugas untuk menjaga tidak hanya dirinya sendiri, tapi juga anggota keluarganya dari azab api neraka.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim: 6)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat ini dengan ucapan beliau,

“(Jagalah mereka dari api neraka) dengan mengajarkan ilmu dan adab (etika) kepada mereka.”

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata,

“Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allah Azza wa Jalla akan menyelamatkanmu dari neraka”.

Mujahid rahimahullah mengatakan,

“Bertakwalah kepada Allah, dan perintahkan keluargamu agar bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla ”.

Qatadah rahimahullah berkata,

“Hendaknya dia memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah dan melarang mereka dari kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla, dan mengatur mereka dengan perintah Allah Azza wa Jalla, memerintahkan mereka untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla, dan membantu mereka untuk melaksanakan perintah Allah. Maka jika engkau melihat suatu kemaksiatan yang merupakan larangan Allah, maka engkau harus menghentikan dan melarang keluargamu dari kemaksiatan itu”.

Dari tafsiran-tafsiran ini, bisa kita simpulkan bahwa ayah hendaknya berperan aktif di dalam mendidik keluarganya. Bukan hanya semata-mata sebagai pencari nafkah, tapi juga menjadi sosok pendidik di tengah-tengah keluarganya.

Tugas mendidik anak pada dasarnya adalah tugas para ayah. Bukan sekolah, madrasah atau pondok pesantren. Institusi pendidikan pada hakikatnya hanya menjadi asisten yang membantu orang tua. Tugas utama mendidik anak tetap berada di pundak seorang ayah.

Adalah tanggungjawab ayah untuk mengarahkan anak-anaknya agar menjadi orang-orang yang shalih. Dan tentu saja sang ayah akan dimintai pertanggungjawabannya kelak oleh Allah subhanahu wata’ala.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ, وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, وَ الرَّجُلُ رَاعٍ فِيْ بَيْتِهِ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang pria adalah pemimpin di rumahnya dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Ayah-ayah Teladan di Dalam Al Qur’an

Apabila kita menelaah Al Qur’an maka kita akan dapati bahwa para Nabi sangat perhatian terhadap keadaan anak-anak mereka. Selalu mengajak anak-anak mereka kepada ketaatan, melarang mereka dari perbuatan munkar dan senantiasa mendoakan kebaikan kepada mereka.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, mengisahkan doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ya Rabb-ku, Jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)

Beliau tidak mencukupkan doa beliau hanya untuk kebaikan diri beliau, akan tetapi juga mendoakan anak keturunan beliau agar dijauhkan oleh Allah subhanahu wata’ala dari perbuatan syirik.

Demikian juga Allah mengisahkan tentang keadaan Nabi Ismail ‘alaihis salaam,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا (54) وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا (55)

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabb-nya.” (Maryam: 54-55)

Di sini Allah ta’ala memuji Nabi Ismail. Kenapa? Karena sesungguhnya dia seorang pemimpin yang baik bagi keluarganya. Dia memerintahkan keluarganya shalat, zakat dan menyuruh mereka untuk mentaati Allah. Sesungguhnya kepemimpinan inilah yang diperintahkan Allah kepada para nabi-Nya. Tidak ada seorang nabi pun melainkan dia telah mencurahkan usahanya dalam mendidik anak-anaknya.

Demikian juga kita bisa lihat penjagaan yang dilakukan oleh Nabi Ya’qub terhadap anaknya Yusuf alaihissalaam, tatkala saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam berkata kepada bapaknya,

قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لَا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ (11) أَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا يَرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (12) قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ (13)

“Mereka berkata, “Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya. Berkata Ya’qub, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku, dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah dari padanya.” (Yusuf: 11-13)

Nabi Ya’qub sebagai seorang bapak mengkhawatirkan anaknya untuk bersama orang yang tidak akan menjaganya. Beliau berkata,

قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ

“Berkata Ya’qub, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku, dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah dari padanya.” (Yusuf: 13)

Jadi inilah seharusnya yang diperbuat oleh para ayah. Mereka selalu memperhatikan keadaan anak-anak mereka. Tidak membiarkan mereka di jalan-jalan, di tempat-tempat maksiat, bergaul dengan sembarangan orang. Tapi yang wajib bagi ayah adalah mengontrol anak-anak mereka, dengan siapa mereka berteman, di mana mereka bergaul, agar mereka tidak terjerumus kepada perbuatan yang membahayakan dunia, apalagi akhirat mereka.

Perhatian terhadap pengajaran aqidah yang shahihah kepada anak-anak juga ditunjukkan oleh Nabi Ya’qub alaihissalaam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah di dalam Al Qur’an,

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah ilah-mu dan ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Al Baqarah: 133)

Lihatlah perhatian Nabi Ya’qub terhadap aqidah anak-anak beliau. Ketika akan meninggal, tidak lah beliau bertanya tentang bagaimana harta, pekerjaan, atau kedudukan anak-anaknya. Akan tetapi yang beliau tanyakan apa yang akan disembah oleh anak keturunan beliau setelah beliau wafat.

Inilah teladan yang harusnya dicontoh para ayah. Keteladanan yang muncul dari para nabi pilihan Allah. Bukan keteladanan dari pola hidup barat yang rusak di mana manusia hanya menjadikan materi sebagai standar baiknya kehidupan mereka.

Sebuah Renungan

Wahai Ayah, kembalilah engkau ke rumah…

Habiskanlah lebih banyak waktumu bersama putra-putrimu. Mereka tak hanya butuh nafkah dari pekerjaanmu, tapi mereka juga butuh perhatian dan kasih sayangmu

Wahai ayah, kembalilah engkau ke rumah…

Peluk dan ciumlah anak-anakmu. Ajak mereka bicara tentang keseharian mereka, tanyakan apa yang menjadi cita-cita mereka sehingga engkau bisa ikut berperan meraihnya.

Wahai ayah, kembalilah engkau ke rumah…

Buanglah sifat egoismu. Jabatan, karir dan kesenanganmu tiadakan berarti bila anak-anakmu kehilangan figur panutan.

Wahai ayah, kembalilah engkau ke rumah…

Jangan biarkan negeri ini menjadi negeri tanpa ayah.

sumber: http://wirabachrun.com/2016/04/08/negeri-tanpa-ayah/

Rewritten : Abu Mirza

Posting Komentar

0 Komentar