Menyedihkan, negeri yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi fenomena kesyirikan dalam soal “tabaruk” sangat banyak dijumpai.
Sebagian komunitas meyakini bahwa mata air tertentu memiliki berkah. Manusia pun berdatangan untuk singgah berendam (kungkum), mandi, atau meminumnya dengan berbagai harapan, untuk dirinya, keluarga, kesembuhan penyakit, kelancaran usaha, dan seterusnya.
Apakah Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa air tersebut diberkahi? Adakah izin dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bertabaruk dengan air tersebut? Tidak diragukan semua perbuatan dan keyakinan terhadap mata air tersebut adalah bentuk kesyirikan.
Ritual Suran di kota Solo yang sarat dengan kesyirikan juga sangat masyhur. Sebuah kirab di malam 1 Sura digelar di Kraton Surakarta Hadiningrat. Dalam acara itu “Kebo Kiai Slamet” diumbar (dilepaskan).
Ya, Kebo Bule Kiai Slamet sebagai “Cucuking Lampah” kirab di malam itu. Konon, kebo bule adalah hewan kesayangan Susuhunan dan dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Lautan manusia berebut tinja (kotoran), kencing, atau setidaknya menyentuh Kiai Slamet; ngalap berkah dari kerbau tersebut. Inikah Islam? Allahul musta’an.
Sungguh, pemandangan ini sangat menyedihkan dan menakutkan. Mengapa manusia yang telah Allah subhanahu wa ta’ala beri akal hilang akalnya? Tidakkah mereka sadar bahwa kesyirikan adalah dosa yang tidak terampuni?! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa: 48)
Masih di negeri ini pula, seorang bocah tiba-tiba tenar dengan batu “keramat” yang dimilikinya. Dialah Ponari yang namanya sempat melejit memenuhi ruang media pada 2009.
Manusia berjubel ngalap berkah dari batu milik sang bocah. Kobokan (celupan) tangannya, bahkan selokan pembuangan rumah Ponari menjadi incaran para peziarah yang demikian nekat ngalap berkah. Bahkan, beberapa pengunjung tewas karena berjubelnya manusia. Wal ‘iyadzubillah.
Tabaruk dengan Kiai/Orang Saleh
Fenomena pengultusan sesosok tokoh yang dianggap saleh juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sebagian penduduk di negeri ini. Sosok itu demikian agung di mata para pengikutnya.
“Romo kiai rawuh!” Demikian seruan terdengar. Serentak para santri berdiri, dengan badan membungkuk seperti rukuk. Mereka berebut tangan sang kiai untuk menciumnya seraya berharap turunnya berkah.
Selepas kiai bermajelis, pemandangan menyedihkan lain tampak. Sisa minuman kiai atau sisa “kobokan” (cucian tangan) kiai pun diperebutkan. Masih dengan keyakinan dan harapan serupa, yaitu tabarruk (ngalap berkah).
Akal-akal manusia seakan hilang. Memang demikian ketika ketergantungan hati yang seharusnya tertuju hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian bergeser dan diberikan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Syubhat yang Harus Disingkap
Telah menjadi kebiasaan musyrikin dan pengikut hawa nafsu, mereka mendatangkan syubhat untuk membela kebatilan.
Dalam masalah tabarruk (ngalap berkah) dengan orang yang dianggap saleh seperti kiai, guru tarekat, ada banyak syubhat mereka bawakan. Di antara syubhat tersebut sebagai berikut.
1. Berdalil dengan hadits maudhu (palsu)
Di antara hadits-hadits palsu yang mereka nukilkan adalah:
Sebuah hadits yang diriwayatkan al-Imam ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma. Beliau radhiallahu ‘anhuma berkata,
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، الْوُضُوءُ مِنْ جَرٍّ جَدِيدٍ مُخَمِّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ مِنَ الْمَطَاهِرِ؟ فَقَالَ: لَا، بَلْ مِنَ الْمَطَاهِرِ، إِنَّ دِينَ اللهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ. قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللهِ يَبْعَثُ إِلَى الْمَطَاهِرِ فَيُؤْتَى بِالْمَاءِ، فَيَشْرَبُهُ، يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih engkau sukai, berwudhu dengan air baru dalam bejana yang tertutup atau berwudhu pada tempat wudhu umum (air wudhu yang telah terkena tangan-tangan manusia)?”
“Sungguh, yang paling aku sukai adalah berwudhu dari bejana yang dipakai umum. Sesungguhnya agama Allah subhanahu wa ta’ala itu lurus dan mudah.”
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan untuk mengambil air dari tempat wudhu umum. Beliau lalu meminumnya mengharapkan barakah dari tangan-tangan kaum muslimin.”
Dengan berbinar hati, mereka menyatakan hadits ini adalah nas yang menunjukkan bolehnya bertabarruk dengan sisa orang saleh—selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bertabarruk dengan air yang merupakan sisa tangan-tangan kaum muslimin dalam wudhu mereka.
Sungguh, hadits-hadits seperti ini dibuat oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak akidah kaum muslimin.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menegakkan Islam. Ahlul hadits—orang-orang yang selalu waspada dari penyusup yang ingin menyelipkan hadits-hadits palsu—menyepakati kebatilan (kepalsuan) hadits ini. Di antara yang mengingkarinya adalah Abu Arubah[1], Ibnu Adi[2], Ibnu Hibban[3], al-‘Iraqi dalam Takhrij Ahadits al-Ihya (1/690), asy-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah (1/12) dan asy-Syaikh Abdur Rahman al-Mu’alimi al-Yamani.[4]
Hadits palsu kedua yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melegalkan tabaruk syirik adalah,
إِذَا أَعْيَتْكُمُ الْأُمُورُ فَعَلَيْكُمْ بِأَهْلِ الْقُبُورِ أَوْ فَاسْتَعِينُوا بِأَهْلِ الْقُبُورِ
“Apabila menimpa kalian perkara-perkara yang menyusahkan, segeralah kalian menuju orang-orang yang telah dikubur.”
Dalam sebagian lafadz, “Mintalah bantuan kepada penghuni kubur.”
Inilah di antara hadits palsu yang digunakan kaum quburi dan Sufi— termasuk di negeri ini—untuk melariskan dagangan mereka mengultuskan kuburan-kuburan “wali”, agar manusia berbondong ngalap berkah di kuburan-kuburan tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari kedustaan mereka.
Para ulama juga bersepakat bahwa hadits ini maudhu (palsu). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menukilkan kesepakatan para ulama tersebut dalam Majmu’ Fatawa (11/293) beliau berkata,
“Hadits ini dusta dan diada-adakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut kesepakatan orang-orang yang mengetahui haditsnya. Tidak ada seorang ulama pun yang meriwayatkan hadits ini. Tidak didapatkan (hadits ini) sedikit pun dalam kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan.”
Beliau juga mengatakan dalam kitabnya ar-Radd ‘ala al-Bakri bahwa hadits tersebut la ashla lahu (tidak ada asalnya).
Di antara hadits palsu yang tersebar untuk melegalkan praktik tabarruk syirik adalah,
لَوْ أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ ظَنَّهُ بِحَجَرٍ نَفَعَهُ
“Seandainya salah seorang di antara kalian berprasangka baik pada batu, niscaya batu itu akan memberikan manfaat kepadanya.”
Hadits ini disebutkan oleh al-Hafizh al-‘Ajluni rahimahullah dalam Kasyful Khafa (2/152). Beliau menukilkan dari Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa hadits ini dusta. Dinukil dari Ibnu Hajar rahimahullah bahwa hadits ini, “La ashla lahu (hadits ini tidak memiliki asal).”
Dinukilkan pula dari as-Sakhawi rahimahullah, “La yashih (hadits ini tidak sahih).”
Beliau juga menukilkan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits palsu ini asalnya adalah ucapan para penyembah berhala yang selalu berbaik sangka pada bebatuan.”
Dalam kitabnya, Ighatsatu al-Lahafan (1/308), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Semua hadits itu sangat berlawanan dengan agama Islam, dan dipalsukan oleh orang-orang musyrik….”
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam Silsilah adh-Dha’ifah hadits no. 450.
2. Berdalil dengan qiyas
Di antara syubhat yang mereka pegangi dalam masalah tabaruk dengan orang-orang saleh (atau yang dianggap saleh) adalah qiyas.
Mereka mengiyaskan (menganalogikan) orang-orang saleh dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka katakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang saleh dan disyariatkan para sahabat bertabaruk dengan jasad beliau dan peninggalan beliau. Karena para wali juga saleh, berarti diperbolehkan pula ngalap berkah dengan mereka.
Meski tampak indah, qiyas ini adalah sebuah syubhat yang batil. Syubhat yang ada di hadapan kita ini terbantah dari beberapa sisi bantahan, di antaranya sebagai berikut.
Qiyas ini tertolak karena perbedaan yang sangat jauh antara al-ashl dan al-far’.
Sebagaimana dimaklumi bahwa qiyas menurut ulama ushul fiqh adalah ‘menyamakan antara al-far’ (objek yang dikiaskan) dengan al-ashl (pokok yang dikiaskan kepadanya) dalam hal hukum, karena adanya kesamaan ‘illah antara keduanya (far’ dan ashl)’. ‘Illah adalah alasan untuk menyamakan hukum antara far’ dan ashl.
Dengan qiyas ini, ahlul batil ingin menyamakan dengan paksa antara kiai/orang saleh (sebagai far’) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagai al-ashl) dalam sebuah hukum, yaitu disyariatkannya bertabaruk dengan jasad kiai/orang saleh sebagaimana bolehnya bertabaruk dengan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, mereka menganggap adanya kesamaan ‘illah antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kiai/orang saleh.
Mereka menetapkan bahwa sebabnya adalah “kesalehan”. Karena dinilai saleh, keduanya bisa disamakan dalam hal bolehnya bertabaruk dengannya.
Qiyas ini tertolak. Sebab, ketika kita cermati, qiyas seperti ini termasuk qiyas ma’al fariq, yaitu qiyas yang batil karena perbedaan yang sangat jauh antara alashl dan al-far dalam hal ‘illah, sehingga tidak bisa disamakan hukumnya.
Ketika kita dalami, sesungguhnya sangat banyak perbedaan antara kesalehan orang biasa dan kesalehan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1) kesalehan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada puncak kesalehan, sementara kesalehan kiai/orang saleh yang diagungkan (jika memang dia orang saleh)[5] adalah kesalehan yang sangat terbatas.
2) kalau memang orang saleh, kesalehan kiai/orang saleh tercampur dengan dosa dan kemaksiatan. Berbeda halnya dengan kesalehan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dicampur dengan dosa, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maksum.
3) kesalehan umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercapai karena mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kesalehan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan karena beliau mengikuti umatnya.
4) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijamin masuk jannah (surga), bahkan jannah yang paling tinggi, sementara kiai/orang saleh yang diagungkan tidak memilki jaminan surga, bahkan tidak ada yang bisa menjamin dia khusnul khatimah. Bisa jadi, dia mati dalam keadaan fasik atau bahkan murtad.
5) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala, baik secara langsung maupun melalui perantara Jibril ‘alaihissalam, sementara kiai/orang saleh yang dianggap saleh tidak mendapatkan wahyu,
قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku.” (al-Kahfi: 110)
6) Sangat jauh antara jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa ta’ala izinkan para sahabat bertabaruk dengannya dan jasad kiai/orang saleh yang diagungkan.
Di antara perbedaannya, Allah subhanahu wa ta’ala haramkan bumi memakan jasad para nabi dan rasul. Hal ini tidak berlaku untuk jasad para kiai/orang saleh, berdasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah haramkan atas bumi memakan jasad para nabi.”
Qiyas tersebut menyelisihi dalil, sehingga teranggap fasidul i’tibar.
Yang dimaksud dengan fasidul i’tibar adalah qiyas yang menyelisihi dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’ ulama.
Para ulama bersepakat bahwa qiyas tidak dipergunakan jika ada nas dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’. Di samping itu, qiyas juga tidak boleh dipegang ketika menyelisihi dalil baik al-Qur’an, as-Sunnah yang sahih, atau ijma’. Sebab, apabila demikian, qiyas tersebut dianggap fasid (fasidul i’tibar).
Dalam masalah tabarruk, telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan para sahabat bahwa mereka tidak bertabarruk dengan selain jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ijma’ ini dinukilkan oleh asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya al-I’tisham.
Karena adanya ijma’ ini, menyamakan jasad orang saleh dengan jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal disyariatkannya tabarruk termasuk qiyas yang menyelisihi ijma’.
Lebih dari itu, qiyas ini menyelisihi nas al-Qur’an atau as-Sunnah.
Kita telah membaca bersama hadits Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu tentang perjalanan beliau bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Hadits tersebut menunjukkan bahwa bertabarruk dengan pohon adalah kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sangat tegas mengingkari keinginan sebagian sahabat yang baru saja masuk Islam saat menyampaikan keinginan agar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat Dzatu Anwath, seperti yang dilakukan musyrikin terhadap sebuah pohon sidr.
Larangan tabarruk dengan pohon berlaku juga untuk hal yang lain, seperti mencari berkah kepada bebatuan, kuburan, atau yang lainnya. Demikian pula mencari berkah dengan keringat orang saleh, bersentuhan dengan tubuh mereka, menyentuh pakaian mereka, dan yang semisalnya. (al-Jadid, hlm. 103)
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa mengusapkan pakaian atau bagian tubuh—sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang—di sisi kubur para wali dengan maksud mencari berkah adalah perbuatan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula perbuatan sebagian manusia mencium para gurunya dengan keyakinan bahwa barakah akan mereka peroleh dengan cara tersebut. Merunduk, membungkuk, berebut air kobokan, dan berebut gedoh kopi pak kiai, semuanya termasuk bentuk kesyirikan.
Qiyas tersebut tidak sesuai dengan amalan salaf umat ini, baik para sahabat, tabi’in, atau tabi’ut tabi’in.
Ketika terjadi perselisihan, kita diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan tersebut kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan al-Khulafaur Rasyidin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتَلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا باِلنَّوَاجِذِ
“Sungguh, siapa yang hidup di antara kalian akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah al-Khulafa yang mendapat bimbingan dan petunjuk. Peganglah erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan at-Tirmidzi no. 2676)
Setelah kita lihat amalan salaf, ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang bertabarruk dengan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengapa para sahabat tidak bertabarruk dengan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu, padahal beliau adalah manusia terbaik setelah para nabi dan rasul?
Jawabnya, karena mereka mengerti bahwa tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang bisa menjadi sandaran untuk bertabarruk dengan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga menyadari bahwa manusia, sesaleh apa pun tidak bisa disamakan dengan Nabi dalam hal kesalehan hingga memiliki kesamaan hukum.
Tidak ada satu riwayat sahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintah sahabat agar bertabarruk (mencari berkah) kepada selain beliau, baik kepada kalangan sahabat seperti Abu Bakr atau selainnya, dengan diri mereka, maupun dengan peninggalan mereka. Di samping tidak ada perintah dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada pula satu riwayat sahih yang menyebutkan bahwa para sahabat bertabarruk dengan sahabat yang lain layaknya dahulu mereka bertabarruk dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat tidak pernah melakukan hal itu terhadap orang-orang terbaik dari al-Khulafaur ar-Rasyidin atau al-‘Asyarah al-Mubasysyaruna bil Jannah.
Jika kesalehan menjadi alasan seseorang bertabarruk dengan kiainya, tentu saja orang yang paling saleh adalah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Beliau adalah manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Beliau telah dijamin masuk surga. Beliau adalah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat saat sakitnya, sekaligus sebagai Khalifah sepeninggal beliau. Akan tetapi, para sahabat bersepakat tidak bertabarruk dengan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Bahkan, para sahabat telah bersepakat tidak bertabarruk dengan jasad selain jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Setelah wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan di kalangan umatnya orang yang lebih utama daripada Abu Bakr ash-Shiddiq. Ia adalah khalifah (pengganti) beliau. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan tabarruk terhadapnya. Tidak juga terhadap Umar, orang yang paling utama di kalangan umat beliau setelah Abu Bakr. Demikian pula terhadap Utsman dan Ali, kemudian para sahabat lainnya. Padahal tidak ada seorang pun di kalangan umat ini yang lebih utama daripada mereka.
Tidak ada satu keterangan pun yang sahih dan dikenal dari salah seorang mereka yang menyatakan bahwa ada seseorang yang mencari berkah terhadapnya dengan salah satu cara di atas atau semacamnya.
Akan tetapi, yang terjadi di kalangan mereka hanyalah bertabarruk mengikuti perbuatan, ucapan, dan perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) mereka untuk tidak melakukan hal-hal tersebut.” (al-I’tisham, asy-Syathibi, 2/8—9)
Tabaruk dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekhususan beliau.
Para ulama menjelaskan alasan para sahabat tidak bertabaruk dengan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penyebab utamanya— wallahu a’lam—adalah keyakinan mereka bahwa tabarruk seperti itu adalah kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dimiliki oleh selain beliau.
Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar telah memberi beberapa kekhususan kepada para nabi dan rasul yang mulia. Berbagai kekhususan tersebut tidak didapatkan pada selain mereka.
Demikian pula pada diri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara kekhususan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan adalah adanya keberkahan pada diri (jasad) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pemuliaan terhadap beliau.
Jasad dan sifat manusia biasa tidak sama dengan jasad dan sifat para nabi. Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memilih dan mengistimewakan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ أَعۡلَمُ حَيۡثُ يَجۡعَلُ رِسَالَتَهُۥۗ
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (al-An’am: 124)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَرَبُّكَ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخۡتَارُۗ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya….” (al-Qashsash: 68)
Pengistimewaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap para Nabi, dengan berbagai kekhususan yang tidak dimiliki oleh selain mereka, telah masyhur dan tidak dapat dimungkiri. Sungguh, tidak bisa disamakan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang saleh pun dari umat beliau.
Para ulama telah menjelaskan bahwa tabaruk dengan sisa air wudhu, rambut, keringat, atau sejenisnya adalah kekhususan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hal ini tidak boleh dilakukan kepada seorang pun dari umat beliau. Hal ini sebagaimana kekhususan beliau diperbolehkan menikahi lebih dari empat wanita.
Ketika mengulas larangan ghuluw (melampaui batas) dalam mengagungkan para wali, al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menjelaskan pula larangan menyamakan wali dengan Nabi dalam hal tabarruk.
Beliau berkata, “… Hal itu (yakni tabarruk) telah dilakukan oleh para sahabat terhadap Nabi dan mereka tidak melakukannya terhadap sebagian dari mereka…
Tabarruk juga tidak dilakukan oleh para tabi’in terhadap para sahabat, padahal kedudukan mereka tinggi. Ini semua menunjukkan bahwa tabarruk semacam ini hanya boleh dilakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti mencari barakah dengan air wudhu beliau, sisa-sisa air wudhu beliau, rambut beliau, dan meminum/memakan sisa minuman/makanan beliau.” (al-Hikamul Jadirah bil Idzaa’ah min Qaul Rasulillah, “Buitstu baina yadayi as-Sa’ah”, Ibnu Rajab, 55)
3.Berdalil dengan Ucapan Ulama yang Masih Samar
Di antara syubhat mereka ialah menukil ucapan ulama yang masih samar kesahihannya atau maknanya, tanpa memerhatikan keterangan para ulama ketika mendudukkan riwayat tersebut.
Sebagai contoh, mereka dapatkan sebuah riwayat dari al-Imam Ahmad bin Hanbal,
سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمُسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ
“Aku bertanya kepadanya (al-Imam Ahmad) tentang seorang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertabarruk (mencari berkah) dengan mengusap dan menciumnya. Demikian pula seseorang yang melakukan hal tersebut terhadap makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-Imam Ahmad menjawab, ‘Hal itu tidak apa-apa’.”
Tentu saja, bagi mereka riwayat ini sangat menggembirakan. Tanpa ragu mereka mengatakan, “Ini dalil kami yang tidak terbantahkan!” Imam Ahlus Sunnah menyatakan bolehnya bertabarruk dengan mencium dan mengusap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara itu.
Jawaban atas syubhat ini adalah sebagai berikut.
Riwayat di atas adalah riwayat yang sangat aneh.
Dalam mazhab Hanbali, sangat tegas dibencinya mengusap-usap dan menciumi kuburan, karena amalan ini tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dilakukan oleh para sahabat.
Riwayat tersebut sangat diragukan kebenaran penisbatannya kepada al-Imam Ahmad rahimahullah
Sebab, riwayat di atas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang masyhur dari beliau yang secara tegas menunjukkan bahwa mengusap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—apalagi selain kubur beliau—tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, dan salaf umat ini.
Di antara riwayat tersebut adalah riwayat al-Atsram, salah seorang murid al-Imam Ahmad yang tepercaya dan mengambil riwayat langsung dari beliau. Beliau berkata,
رَأَيْتُ أَهْل الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لاَ يَمُسُّونَ قَبْرَ النَّبِيِّ، يَقُومُونَ مِنْ نَاحِيَةٍ فَيُسَلِّمُونَ
“Aku menyaksikan bahwa ahlul ilmi dari penduduk Madinah tidak mengusap kubur Nabi. Mereka hanya berdiri di dekat (makam) dan mengucapkan salam (atas beliau).”
Hal lain yang menambah keraguan tentang riwayat di atas, al-Imam Ahmad bin Hanbal sangat terkenal dalam hal berpegang dengan sunnah, menjauhi kesyirikan, dan menjauhi jalan yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Siapa saja yang mengenal Ahmad bin Hanbal rahimahullah, niscaya akan merasa aneh dengan riwayat yang dijadikan syubhat quburiyun (para pengagung kuburan). Terlebih lagi, dipastikan bahwa riwayat-riwayat yang sahih justru bertentangan dengan riwayat yang mereka nukilkan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (3/475) menyebutkan dari murid-murid al-Imam Ahmad bahwa mereka menganggap jauh (mustahil) perkataan tersebut (diucapkan oleh al-Imam Ahmad).
Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah meragukan pula kebenaran riwayat di atas dari al-Imam Ahmad.
Seandainya penukilan dari al-Imam Ahmad itu sahih, kita memiliki pokok-pokok akidah berdasarkan al-Kitab dan Sunnah Rasulullah yang lebih didahulukan dari ucapan siapapun.
Al-Imam Ahmad sendiri berkata, “Jika kalian melihat ucapanku yang menyelisihi ucapan Rasulullah, buanglah ucapanku.”
Pembaca, sebuah contoh ini insya Allah cukup sebagai peringatan bahwa ahlul bid’ah demikian jahat dalam mencari-cari celah untuk membenarkan kesesatannya. Setiap ucapan yang sekiranya bisa memperkuat kebid’ahan dan kesyirikan mereka segera dicomot tanpa memerhatikan apa yang mereka nukilkan.
Demikian beberapa pembahasan terkait dengan barakah dan tabarruk. Semoga apa yang sedikit ini memberikan faedah bagi kaum muslimin.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[1] al-Kamil fi Dhu’afair Rijal (3/257)
[2] al-Kamil fi Dhu’afair Rijal (3/261)
[3] Mizanul I’tidal adz-Dzahabi (2/628)
[4] al-Fawaid al-Majmu’ah (1/12)
[5] Kenyataan yang ada, kiai yang mereka anggap saleh adalah pelaku kebid’ahan dan kesyirikan. Apakah orang yang seperti ini dikatakan sebagai orang yang saleh?
Sumber: https://asysyariah.com/ngalap-berkah-kiai-dengan-dalil-dan-analogi-batil/
Repost: Berbagi Ilmu Kajian Sunnah
0 Komentar