Ulama Salaf Benteng Kokoh Penjaga Sunnah



Setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kebenaran Islam wajib meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla akan selalu menjaga kemurnian dan kebenaran agama Islam sampai hari kiamat. Penjagaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap kemurnian agama Islam ini adalah dengan menjaga sumber hukum syariat Islam, yaitu al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga tidak ada alasan apapun bagi semua manusia, sejak diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir jaman, untuk berpaling dari kebenaran Islam, ketika Allâh Azza wa Jalla meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا 

''(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.''  (an-Nisâ’/4:165)

Penjagaan terhadap kemurnian agama Islam ini ditegaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

''Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.'' (al-Hijr/15:9)

Penjagaan terhadap al-Qur’ân dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allâh Azza wa Jalla menjaga kemurnian al-Qur’ân pada lafazh (teks) dan kandungan maknanya[1], sedangkan kandungan makna al-Qur’ân yang benar dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:

بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

''Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menjelaskan kepada umat manusia (kandungan makna al-Qur’ân) yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka memikirkan.'' (an-Nahl/16:44)

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Sunnah (hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah penjabar dan penjelas makna al-Qur’ân”[2]

Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau rahimahullah berkata: “Firman Allâh Azza wa Jalla ini mengandung konsekwensi bahwa syariat (yang dibawa oleh) Rasûlullâh n akan selalu terjaga dan sunnah (hadits-hadits) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa terpelihara”[3]

Oleh karena itu, beberapa Ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) bahwa makna adz-Dzikr dalam ayat di atas bukan hanya al-Qur’ân saja, tapi juga mencakup hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena keduanya adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla kepada manusia[4].

Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Hazm rahimahullah mengatakan, “…Maka benarlah bahwa semua hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama adalah wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , tidak ada keraguan dalam masalah ini. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli bahasa (Arab) dan ahli syariat Islam (Ulama) bahwa semua wahyu yang diturunkan dari sisi Allâh Azza wa Jalla adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan (oleh Allâh  Azza wa Jalla ). Maka wahyu seluruhnya terjaga (kemurniannya) secara pasti dengan penjagaan Allâh  Azza wa Jalla , dan semua hal yang dijamin penjagaannya oleh Allâh Azza wa Jalla ditanggung tidak akan hilang (rusak) sedikitpun dan tidak akan berubah selamanya dengan perubahan yang tidak dijelaskan kebatilan (kesalahannya) … Maka mestilah agama yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (akan senantiasa) terjaga (kemurniannya) dengan penjagaan langsung dari Allâh Azza wa Jalla …”[5].

Para Ulama Ahli Hadits Penjaga Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara sebab utama yang Allâh Azza wa Jalla jadikan untuk penjagaan kemurnian agama-Nya adalah dengan menghadirkan para Ulama Ahli hadits di setiap generasi sejak jaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat.


Mereka inilah yang dimaksud dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ

Ilmu agama ini akan dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang adil (terpercaya) dari mereka, (dan) mereka akan menghilangkan/membersihkan ilmu agama dari (upaya) at-tahrîf (menyelewengkan kebenaran/merubah kebenaran dengan kebatilan) dari orang-orang yang melampaui batas, kedustaan dari orang-orang yang ingin merusak (syariat Islam) dan pentakwilan dari orang-orang yang bodoh”[6]

Imam Ibnul Qayiim rahimahullah berkata, “(Dalam hadits ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilmu agama yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa (dari wahyu Allâh Azza wa Jalla ) akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya dari umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari setiap generasi, supaya ilmu agama ini tidak pudar dan tidak hilang. Ini mengandung rekomendasi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para Ulama yang membawa ilmu yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawakan (ilmu sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”[7]

Para Ulama Ahli hadits menghabiskan waktu, tenaga dan hidup mereka untuk mempelajari, menghafal dan meneliti hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menjaga kemurnian dan keotentikannya.

Oleh karena itu, imam besar penghafal hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Atbâ‘ut tâbi’în yang terkenal, Abdullah bin al-Mubârak, ketika beliau rahimahullah ditanya tentang banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar di tengah kaum Muslimin, beliau rahimahullah menjawab, “Para Ulama yang menekuni hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mencurahkan) hidup mereka untuk (meneliti dan menjelaskan) hadits-hadits tersebut.” Kemudian beliau rahimahullah membaca firman Allâh Azza wa Jalla :

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

''Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.'' (al-Hijr/15:9)[8]

Mereka pantas untuk disebut sebagai makhluk yang khusus diciptakan Allâh Azza wa Jalla untuk menjaga kemurnian al-Qur’ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ketika memuji imam Yahya bin Ma’in rahimahullah, “Di sini ada seorang laki-laki (Yahya bin Ma’in) yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan (khusus) untuk urusan ini (mempelajari dan meneliti hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dengan beliau rahimahullah menyingkap kedustaan orang-orang yang berdusta (dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”[9]

Merekalah yang selalu membela kebenaran agama Islam dan menjaga kemurniaannya sampai di akhir jaman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهِيَ كَذَلِكَ

''Senantiasa ada segolongan dari umatku yang (membela dan) memenangkan kebenaran, tidak akan merugikan mereka orang yang meninggalkan mereka, sampai datangnya ketentuan Allâh dalam keadaan mereka (tetap) seperti itu''[10]

Para Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘golongan yang selalu ditolong oleh Allâh dalam membela kebenaran’ (ath-thâifah al-manshûrah) dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah para Ulama ahli hadits, sebagaimana ucapan imam Abdullah bin al-Mubârak, imam Ahmad bin Hambal, imam ‘Ali bin al-Madini dan imam al-Bukhari, bahkan imam Ahmad bin Hambal berkata, “Kalau bukan yang dimaksud dengan ath-thâifah al-manshûrah ini adalah ahli hadits maka aku tidak tahu siapa mereka”[11]

Imam al-Khatîb al-Baghdadi, ketika mengomentari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Sungguh Rabb semesta alam (Allâh Azza wa Jalla) telah menjadikan ath-thâifah al-manshûrah (para Ulama ahli hadits) sebagai penjaga agama Islam dan Allâh Azza wa Jalla melindungi mereka dari tipu daya para penentang (kebenaran), karena (kuatnya) mereka (dalam) berpegang teguh dengan syariat Allâh yang kokoh dan (dalam) mengikuti jejak para shahabat Radhiyallahu anhum dan tabi’in.

Kesibukan mereka adalah menghafal hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengarungi padang pasir dan tanah tandus, serta menempuh (perjalanan) darat dan laut dalam rangka mencari atau mengumpulkan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tidak akan berpaling dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemikiran dan hawa nafsu manusia.

Mereka menerima (sepenuhnya) syariat (yang dibawa oleh) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ucapan maupun perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menjaga (kemurnian) sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menghafal dan menyebarkannya (kepada umat), sehingga mereka menjadikan kuat landasan sunnah (di tengah masyarakat), dan merekalah ahli sunnah dan yang paling memahaminya.

Berapa banyak orang yang (berpemahaman) menyimpang (dari Islam) ingin mencampuradukkan syariat Islam dengan kebatilan, tapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala membela dan menjaga syariat-Nya dengan para Ulama ahli hadits.

Maka merekalah para penjaga tiang-tiang penopang syariat Islam, penegak perintah dan hukum-hukumnya. Ketika manusia berpaling dari membela syariat Islam, maka mereka selalu tampil membela dan mempertahankannya.

اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

''Mereka itulah golongan Allâh . Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allâh itulah orang-orang yang yang beruntung.'' (al-Mujâdilah/58:22)[12]

Bentuk-Bentuk Penjagaan dan Pembelaan Para Ulama Ahli Hadits Terhadap Hadits-Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam


Jaman Para Shahabat Radhiyallahu anhum

A. Berhati-hati dan teliti dalam menerima hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Imam adz-Dzahabi rahimahullah mencantumkan biografi shahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddik Radhiyallahu anhu dalam kitab beliau Tadzkiratul Huffâzh[13] dan beliau menyebut shahabat yang mulia ini sebagai orang yang pertama kali berhati-hati dan sangat teliti dalam menerima hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian beliau  membawakan sebuah riwayat dari Qubaishah bin Dzuwaib bahwa ada seorang nenek yang datang menghadap Abu Bakar ash-Shiddik Radhiyallahu anhu untuk meminta bagian dari harta warisan, maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak mendapati ada bagian (warisan) untukmu dalam kitabullah (al-Qur’ân) dan aku tidak mengetahui bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan suatu (bagian warisan) untukmu”. Kemudian Abu Bakar Radhiyallahu anhu bertanya kepada para Shahabat lainnya Rad’hiyallahu anhum.

Lalu berdirilah al-Mugirah bin Sy’ubah Radhiyallahu anhu seraya mengakatan, “Aku pernah menyaksikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan (bagian) seperenam (dari warisan) untuk sorang nenek.” Maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu bertanya kepada al-Mugirah, “Apakah ada (orang lain) bersamamu (yang menyaksikan hal tersebut) ?” Kemudian Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu mempersaksiakn hal yang sama, sehingga Abu Bakar Radhiyallahu anhu memberikan bagian tersebut kepada nenek tersebut”

Sahabat yang mulia ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu , imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang beliau, “Umar bin al-Khattab-lah yang memberikan teladan baik kepada para Ulama ahli hadits tentang ketelitian dalam menukil (hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), dan terkadang beliau Radhiyallahu anhu tidak langsung menerima berita (hadits) dari seseorang jika beliau ragu”[14]. Kemudian imam adz-Dzahabi rahimahullah membawakan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu bahwa Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu pernah mengunjungi ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu dan Abu Musa mengucapkan salam tiga kali dari balik pintu, karena tidak diizinkan (tidak dijawab) maka beliau Radhiyallahu anhu pulang. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu  mengutus seseorang kepadanya dan bertanya, “Kenapa kamu pulang?”. Abu Musa Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian mengucapkan salam tiga kali lalu tidak dijawab maka hendaknya dia pulang”. ‘Umar berkata, “Sungguh kamu harus membawa bukti (saksi) atas hal ini atau aku akan menghukummu.” Kemudian Abu Musa Radhiyallahu anhu mendatangi para Sahabat lainnya g dalam keadaan pucat mukanya (karena takut) dan beliau berkata, “Apakah ada di antara kalian yang mendengar (sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut)?”. Para Sahabat Radhiyallahu anhum berkata, “Iya, kami semua mendengarnya”. Lalu mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk menemui ‘Umar Radhiyallahu anhu bersama Abu Musa Radhiyallahu anhu , kemudian Sahhabat tersebut Radhiyallahu anhu menyampaikannya kepada ‘Umar Radhiyallahu anhu [15].

Imam Muslim membawakan riwayat dari Mujâhid bin Jabr rahimahullah bahwa Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi rahimahullah (seorang tabi’in) pernah datang kepada ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , lalu Busyair rahimahullah mulai menyampaikan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. Sedangkan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu tidak mendengarkan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair pun berkata, “Wahai Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , kenapa aku melihatmu tidak mau mendengarkan haditsku? Aku menyampaikan padamu hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarnya ?” Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu menjawab, “Dulunya kami (para Shahabat Radhiyallahu anhum) jika mendengar seseorang berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”, maka kami segera mengarahkan pandangan dan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi ketika manusia telah menempuh cara-cara yang baik dan buruk (kadang jujur dan kadang berdusta) maka kami tidak mau menerima (hadits) dari mereka kecuali yang telah kami ketahui (kebenarannya)”[16]

B. Takut dalam menyampaikan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali yang telah diyakini kebenaran penisbatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Shahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Kalau bukan karena takut salah maka sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian hadits-hadits yang pernah aku dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan, hal ini (karena) aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka”[17]

Dari asy-Sya’bi dan Muhammad bin Sirin bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu jika menyampaikan hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wajah beliau akan berubah (karena takut) dan beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Demikianlah (sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) atau semakna dengannya”[18]

Dari ‘Abdur Rahman bin Abi Laila , beliau berkata, “Kami berkata kepada Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu , ‘Sampaikan kepada kami hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Kami telah tua dan banyak lupa, sedangkan (menyampaikan) hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berat”[19].

Jaman Para Tabi’in Dan Para Ulama Setelahnya

A. Menanyakan dan memeriksa isnad hadits (mata rantai para perawi sampai kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Imam Muslim membawakan riwayat dari seorang Ulama tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin bahwa beliau rahimahullah berkata, “Dahulu, para Ulama ahli hadits tidak bertanya tentang isnad hadits, tapi setelah terjadi fitnah (terbunuhnya shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affân Radhiyallahu anhu dan bermunculannya ahlul bid’ah) para Ulama ahli hadits berkata (kepada orang yang menyampaikan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Sebutkan kepada kami nama-nama para perawimu”, Kemudian mereka melihat (jika para perawi tersebut) ahlus sunnah maka diterima haditsnya dan (jika para perawi tersebut) ahlul bid’ah maka tidak diterima haditsnya”[20]

B. Meneliti keadaan dan sifat-sifat para perawi hadits yang berhubungan dengan kebaikan agama, kejujuran dan ketelitiannya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Inilah yang dikenal dengan ilmu al-jarhu wat ta’dîl.
Imam al-‘Iraqi rahimahullah berkata, “Hampir-hampir semua kitab rujukan ilmu hadits bersepakat (menjelaskan) bahwa pembicaraan tentang al-jarhu wat ta’dîl (mengkritik dan memuji para perawi hadits) adalah perkara yang sejak dulu dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum, tâbi’în dan para Ulama setelah mereka.”[21]

Dari imam ‘Amr bin ‘Ali al-Fallas, beliau rahimahullah berkata, “Aku pernah mendengar imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan rahimahullah berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada (para imam Ahli hadits) Sufyân ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Mâlik bin Anas dan Sufyân bin ‘Uyainah tentang seorang perawi yang tidak cermat dalam (meriwayatkan) hadits, kemudian ada orang lain yang bertanya kepadaku tentang perawi tersebut, (apa aku harus menjelaskan keadaannya)?” Mereka menjawab, “(Ya), sampaikan kepadanya bahwa perawi tersebut tidak tidak cermat (dalam meriwayatkan hadits).”[22]

C. Melakukan rihlah (perjalanan jauh) untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Jabir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu telah melakukan perjalanan jauh selama sebulan (untuk menemui) ‘Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu dalam rangka (menanyakan) sebuah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[23]

Imam Ibnu ash-Shalah menukil dari imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau rahimahullah ditanya, “Apakah seorang (penuntut ilmu hadits) melakukan perjalanan untuk mencari (sanad) yang tinggi ?” Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Ya, demi Allâh , dengan sungguh-sungguh. Sungguh  imam Alqamah dan al-Aswad (dua ulama besar tabi’in yang tinggal di Irak) ketika sampai kepada mereka hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu , maka mereka tidak puas sampai mereka keluar (melakukan perjalanan jauh ke Madinah) untuk menemui ‘Umar Radhiyallahu anhu  dan mendengarkan hadits tersebut (langsung) darinya”[24]

Penutup

Demikianlah gambaran tentang pembelaan dan penjagaan para Ulama Ahli hadits terhadap sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari masa ke masa sampai di akhir jaman, dengan izin Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Contoh-contoh yang kami sebutkan hanya sebagian kecil dari bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan mereka terhadap sunnah. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membalas kebaikan dan jasa-jasa mereka dengan pahala yang sempurna di sisi-Nya, menjaga mereka yang masih hidup dalam kebaikan dan merahmati mereka yang sudah wafat. Sesungguhnya Dia Azza wa Jalla Maha Mendengar dan Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

_______
Footnote
[1] Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 429).
[2] Kitab Ushûlus Sunnah (hlm. 2).
[3] Kitab ar-Raudhul Bâsim (hlm. 33).
[4] Lihat kitab al-Hadîtsu Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqâ‘idi wal Ahkâm (hlm. 22).
[5] Kitab al-Ihkâm fi Ushûlil Ahkâm (1/114).
[6] HR al-Baihaqi dalam a as-Sunanul Kubra” (10/209), ath-Thabrani dalam  Musnadusy Syâmiyyiin (1/344) dan imam-imam lainnya, dinyatakan shahih oleh imam Ahmad (lihat kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/164), dikuatkan oleh imam Ibnul Qayyim (kitab Tharîqul Hijratain hal. 522) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam Misykâtul Mashâbîh (no. 248).
[7] Kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah (1/163).
[8] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab al-Maudhû’ât (1/46) dan as-Suyuuthi dalam kitab Tadrîbur Râwi (1/282).
[9] Dinukil oleh imam al-Mizzi dalam kitab beliau Tahdzîbul Kamâl (31/556).
[10] HSR Muslim (no. 1920).
[11] Semuanya dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahîhah (1/478).
[12] Kitab Syarafu Ashhâbil Hadîts (hlm. 31).
[13] Kitab Tadzkiratul Huffâzh (1/2).
[14] Kitab Tadzkiratul Huffâzh (1/6).
[15] Hadits ini lengkapnya terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri (no. 5891) dan Shahîh Muslim (no. 2153).
[16] HSR Muslim dalam muqaddimah Shahîh Muslim (1/12).
[17] HR ad-Dârimi (no. 235) dan Ahmad (3/172) dengan sanad yang shahih.
[18] HR ad-Dârimi (no. 271), dalam sanadnya ada perawi yang lemah..
[19] HR Ibnu Majah (no. 25) dan Ahmad (4/370), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[20] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah Shahîh Muslim (1/15).
[21] Kitab at-Taqyîd wal Iidhâh (hlm. 440).
[22] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah Shahîh Muslim (1/16).
[23] Hadits tersebut adalah HR Ahmad (3/495) dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 970), dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri dan syaikh al-Albani (Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 3608).
[24] Kitab’Ulûmul Hadîts (hlm. 223).


Sumber : Almanhaj


Repost : Berbagi Ilmu Kajian Sunnah








Posting Komentar

0 Komentar