يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ
- Hak yang hanya khusus bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya dalam hak ini. Itulah hak peribadatan hanya kepada-Nya semata dan tidak kepada selain-Nya, baik dengan cinta, bertaubat, takut, berharap dsb.
- Hak yang khusus bagi rasul-rasul-Nya, yaitu memuliakan mereka, melaksanakan hak-hak mereka, dan sebagainya.
- Hak yang dimiliki bersama, yaitu hak beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan beriman kepada rasul Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan cinta kepada rasul-Nya, menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan menaati rasul-Nya. Namun pada asalnya hak ini terkait dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun kepada rasul-Nya hanya sebatas mengikuti hak Allah subhanahu wa ta’ala.” (al-Qaulus Sadid, hlm. 73)
Wahai semulia-mulia makhlukSiapa lagi tempat aku berlindung selainmuKetika terjadinya malapetaka yang menyeluruhJika engkau tidak menyelamatkan tanganku pada hari kiamatSebagai keutamaan darimu maka katakanlah, wahai orang yang tergelincir kakinya, sesungguhnya termasuk dari kedermawananmu adalah dunia dan akhiratDan termasuk ilmumu adalah ilmu al-Lauh (catatan takdir) dan al-Qalam (pena penulis takdir)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap berlebih-lebihan mereka melebihi orang Nasrani. Orang Nasrani mengatakan, ‘Isa adalah anak Allah’ dan ‘Sesungguhnya Allah adalah yang ketiga dari yang tiga’.” (al-Qaulul Mufid, 1/81)
Demikianlah setan menampakkan kesyirikan yang besar di hadapan mereka sebagai bentuk cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengagungan kepadanya, serta menampakkan ketauhidan dan keikhlasan (seolah-olah) sebagai bentuk mengurangi serta meremehkan beliau.” (Fathul Majid, 1/381)
Di dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064, an-Nasa’i dalam al-Mujtaba, 5/268, Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 98, dan selain mereka. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Zhilalul Jannah, hlm. 63 hadits no. 98, beliau mengatakan, “Telah disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan Ibnu Taimiyah rahimahumullah.” Beliau juga mensahihkannya dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 1283)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (al-Iqtidha, 1/289—290) mengatakan, ”(Makna) hadits ini adalah umum mencakup segala macam ghuluw, baik di dalam i’tiqad (keyakinan) maupun amalan-amalan.
Beliau menyebutkan alasan menjauhi langkah orang-orang sebelum kita adalah agar tidak terjatuh pada perkara yang menyebabkan kebinasaan, dan bahwa mengikuti mereka pada sebagian ciri mereka dikhawatirkan akan menyebabkan tertimpa kebinasaan.
Macam-Macam Ghuluw, Sikap ghuluw kaitannya dengan perbuatan-perbuatan hamba, dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Pertama, ghuluw i’tiqadi. Ghuluw dalam i’tiqad ini dilakukan oleh orang Nasrani terhadap ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Seperti juga ghuluw Syi’ah Rafidhah terhadap ‘Ali radhiallahu ‘anhu atau terhadap imam yang 12. Termasuk juga ghuluw Khawarij dalam mengafirkan orang-orang Islam hanya karena melakukan kemaksiatan-kemaksiatan atau dosa-dosa besar.
Kedua, ghuluw amali. Yaitu ghuluw yang terkait dengan amalan-amalan, baik amalan lisan maupun amalan anggota badan yang tidak terkait dengan i’tiqad. Contohnya, melempar jumrah dengan batu besar, melakukan puasa wishal (puasa terus-menerus), atau bangun malam untuk shalat semalam suntuk.
Dari kedua jenis ghuluw ini, yang paling berbahaya dan besar adalah ghuluw i’tiqadi. (Bida’il I’tiqad wa Akhtharuha, hlm. 94)
Dalam memerangi sikap ghuluw ini, Islam sebagai agama wasathan (pertengahan) menyeru kepada keadilan sikap dan sifat. Islam mendudukkan setiap perkara sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai agama keadilan, Islam mencintai sikap yang adil dan tidak berlebih-lebihan. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan di dalam Al-Qur’an:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ
يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ في دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقّ
قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓاْ أَهۡوَآءَ قَوۡمٖ قَدۡ ضَلُّواْ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرٗا وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ ٧٧
0 Komentar